AKAL
DAN WAHYU
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah
Ilmu Kalam
Jurusan
Pendidikan Agama Islam/ 1-B Tarbiyah dan Keguruan
Dosen Pengampu
: Prof. Dr. H. Jamali Sahrodi
Disusun oleh:
Syaefudin
Fitriyani Prayitno
Septi Nur
Fajriyah
FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM/1-B
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
2014
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Kedudukan akal dan
wahyu dalam Islam menempati posisi yang sangat terhormat, melebihi agama-agama
lain. karena Akal dan wahyu adalah suatu yang sangat urgen untuk manusia,
dialah yang memberikan perbedaan manusia untuk mencapai derajat ketaqwaan
kepada sang kholiq, akal pun harus dibina dengan ilmu-ilmu sehingga mnghasilkan
budi pekerti yang sangat mulia yang menjadi dasar sumber kehidupan dan juga
tujuan dari baginda Rasulullah SAW. Tidak hanya itu, dengan akal juga
manusia bisa menjadi ciptaan pilihan yang Allah amanatkan untuk menjadi
pemimpin di muka bumi ini, begitu juga dengan wahyu yang dimana wahyu adalah
pemberian Allah yang sangat luar biasa untuk membimbing manusia pada jalan yang
lurus.
Namun dalam menggunakan
akal terbatas akan hal-hal bersifat tauhid, karena ketauhidan sang pencipta tak
akan terukur dalam menemukan titik ahir, begitu pula dengan wahyu sang Esa,
karena wahyu diberikan kepada orang-orang terpilih dan semata-mata untuk
menunjukkan kebesaran Allah. Maka antara wahyu dan akal harus selalu mengingat
bahwa semuanya itu karena Allah semata. Dan tidak akan terjadi jika Allah tidak
mengizinkannya. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah kemusyrikan terhadap Allah
karena kesombongannya.
2. Rumusan Masalah
· Apa pengertian wahyu dan akal?
· Bagaimana kedudukan wahyu dan akal dalam Islam?
B. Pembahasan
1. Akal
a) Pengertian Akal
Kata akal sudah menjadi
bahasa Indonesia, berasal dari bahasa Arab al-‘Aql (العـقـل),
yang merupakan kata benda. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluuh
(عـقـلوه)
dalam 1 ayat, ta’qiluun (تعـقـلون) 24 ayat, na’qil (نعـقـل) 1
ayat, ya’qiluha (يعـقـلها) 1 ayat dan ya’qiluun (يعـقـلون)
22 ayat, kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti.[1]
Maka dapat diambil arti bahwa akal adalah peralatan manusia yang memiliki
fungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu
yang kemampuanya sangat luas.
Dalam pemahaman Prof.
Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliyyah dipakai dalam arti kecerdasan praktis
(practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan
memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya
adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah. Bagaimana
pun kata ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. Sedangkan
Muhammad Abduh berpendapat bahwa akal adalah: sutu daya yang hanya dimiliki
manusia dan oleh karena itu dialah yang membedakan manusia dari mahluk lain.
b)
Fungsi Akal
Akal banyak memiliki
fungsi dalam kehidupan, antara lain:
1. Sebagai tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan.
2. Sebagai alat untuk menemukan solusi ketika permasalahan datang.
3. Sebagai alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang benar.
Dan masih banyak lagi
fungsi akal, karena hakikat dari akal adalah sebagai mesin penggerak dalam
tubuh yang mengatur dalam berbagai hal yang akan dilakukan setiap manusia yang
akan meninjau baik, buruk dan akibatnya dari hal yang akan dikerjakan tersebut.
Dan Akal adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah
sempurna kalau tidak didasarkan akal, Iman harus berdasar pada keyakinan, bukan
pada pendapat, dan akallah yang menjadi sumber keyakinan pada tuhan.
c)
Kekuatan Akal
Tak seperti wahyu,
kekuatan akal lebih terlihat jelas dan mudah dimengerti, seperti contoh:
1. Mengetahui tuhan dan sifat-sifatnya.
2. Mengetahui adanya hidup akhirat.
3. Mengetahui bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada
mengenal tuhan dan
berbuat baik, sedang kesengsaraan tergantung pada tidak mengenal tuhan dan pada
perbuatan jahat.
4. Mengetahui wajibnya manusia mengenal tuhan.
5. Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya
di akherat
6. Membuat hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
2. Wahyu
a) Pengertian Wahyu
Kata wahyu berasal
dari bahasa arab الوحي, yang berarti suara, api, dan kecepatan. Ketika berbentuk
masdar, kata Al-Wahyu memiliki dua arti yaitu tersembunyi dan cepat. Oleh
sebab itu wahyu sering disebut sebuah pemberitahuan tersembunyi dan cepat
kepada seseorang yang terpilih tanpa seorangpun yang mengetahuinya. Sedangkan
ketika berbentuk maf’ul wahyu Allah terhadap Nabi-Nabi-Nya ini sering disebut
Kalam Allah yang diberikan kepada Nabi.[2]
Menurut Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid
berpendapat bahwa wahyu adalah pengetahuan yang di dapatkan oleh seseorang
dalam dirinya sendiri disertai keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah SWT,
baik melalui pelantara maupun tanpa pelantara. Baik menjelma seperti suara yang
masuk dalam telinga ataupun lainya.
Wahyu berfungsi memberi
informasi bagi manusia. Yang dimaksud memberi informasi disini yaitu wahyu memberi
tahu manusia, bagaimana cara berterima kasih kepada tuhan, menyempurnakan akal
tentang mana yang baik dan yang buruk, serta menjelaskan perincian upah dan
hukuman yang akan di terima manusia di akhirat.
Sebenarnya wahyu secara tidak langsung adalah senjata
yang diberikan Allah kepada nabi-nabi-Nya untuk melindungi diri dan pengikutnya
dari ancaman orang-orang yang tak menyukai keberadaanya. Dan sebagai bukti
bahwa beliau adalah utusan sang pencipta yaitu Allah SWT.
Memang sulit saat ini membuktikan jika wahyu memiliki kekuatan, tetapi kita
tidak mampu mengelak sejarah wahyu ada, oleh karna itu wahyu diyakini memiliki
kekuatan karena beberapa faktor antara lain:
1. Wahyu ada karena izin dari Allah, atau wahyu ada karena pemberian Allah.
2. Wahyu lebih condong melalui dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
3. Membuat suatu keyakinan pada diri manusia.
4. Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
5. Wahyu turun melalui para ucapan nabi-nabi.
3. Kedudukan Wahyu Dan Akal Dalam
Islam
Kedudukan antara wahyu dalam Islam sama-sama penting. Karena Islam tak akan
terlihat sempurna jika tak ada wahyu maupun akal. Dan kedua hal ini sangat
berpengaruh dalam segala hal dalam Islam. Dapat dilihat dalam hukum Islam,
antara wahyu dan akal ibarat penyeimbang. Ketika hukum Islam berbicara sesuatu yang
identik dengan wahyu, maka akal akan segera menerima dan mengambil kesimpulan
bahwa hal tersebut sesuai akan suatu tindakan yang terkena hukum tersebut. Karena
sesungguhnya akal dan wahyu itu memiliki kesamaan yang diberikan Allah, namun
wahyu hanya orang-orang tertentu saja yang mendapatkanya tanpa seorangpun yang
mengetahu, sedangkan akal itu hadiah terindah bagi setiap manusia yang diberikan
oleh Allah SWT.
Dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski demikian bukan
berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki
aturan untuk menempatkan akal
sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu cocok
dengan syariat Islam dalam permasalahan apapun. Dan Wahyu baik berupa Al-qur’an
maupun Hadits itu keduanya bersumber dari Allah SWT, pribadi Nabi Muhammad SAW yang menyampaikan wahyu ini,
memainkan peranan yang sangat penting dalam turunnya wahyu. Wahyu merupakan perintah yang berlaku umum
atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu, baik perintah itu
disampaikan dalam bentuk umum atau khusus. Apa yang dibawa oleh wahyu
tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan
prinsip-prinsip akal. Wahyu itu
merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah.Wahyu itu
menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia. baik perintah maupun
larangan. Sesungguhnya wahyu yang berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah turun secara
berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Namun tidak selalu mendukung antara wahyu dan akal, karena seiring
perkembangan zaman, akal yang semestinya mempercayai wahyu yang merupakan sebuah
anugerah dari Allah terhadap orang yang terpilih, terkadang mempertanyakan
keaslian wahyu tersebut. Apakah wahyu itu benar dari Allah ataukah hanya
pemikiran seseorang yang beranggapan semu. Seperti pendapat Abu Jabbar
bahwa akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih
besar dari pada upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik lain, demikian
pula akal tak mengetahui bahwa hukuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar
dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua itu hanya dapat
diketahui dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata wahyulah yang menjelaskan
perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat.
Karena Masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam sering dibicarakan
dalam konteks, yang manakah diantara akal dan wahyu itu yang menjadi sumber
pengetahuan manusia tentang tuhan, tentang kewajiban manusia berterima kasih
kepada tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk, serta tentang kewajiban
menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk. Maka para aliran Islam
memiliki pendapat sendiri-sendiri antra lain:[3]
1. Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa akal mempunyai kemampuan mengetahui
empat konsep, yaitu:[4]
1) Mengetahui adanya Tuhan
2) Kewjiban berterimakasih kepada tuhan
3) Mengetahui apa yang baik dan buruk
4) Kewjiban bagi manusia melakukan yang baik dan menjauhi perbuatan jahat
2. Sementara itu aliran Maturidiyah Samarkand juga
mengatakan kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan yang buruk akan
mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal tersebut.
2. Sebaliknya aliran Asy’ariyah, berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui
tuhan sedangkan tiga hal lainnya, yakni kewajiban berterima kasih kepada tuhan,
baik dan buruk serta kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang
jahat diketahui manusia berdasarkan wahyu.
3. Sementara itu aliran maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa dua dari keempat
hal tersebut yakni mengetahui tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk dapat
diketahui dengan akal, sedangkan dua hal lainnya yakni kewajiaban berterima
kasih kepada tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik serta meninggalkan
yang buruk hanya dapat diketahui dengan wahyu.
Dalam menangani hal tersebut banyak beberapa tokoh dengan pendapatnya
memaparkan hal-hal yang berhubungan antara wahyu dan akal. Seperti Harun
Nasution menggugat masalah dalam berfikir yang dinilainya sebagai kemunduran
umat Islam dalam sejarah. Menurut beliau yang diperlukan adalah suatu upaya
untuk merasionalisasi pemahaman umat Islam yang dinilai dogmatis tersebut, yang
menyebabkan kemunduran umat Islam karena kurang mengoptimalkan potensi
akal yang dimiliki. bagi Harun Nasution agama dan wahyu pada hakikatnya hanya
dasar saja dan tugas akal yang akan menjelaskan dan memahami agama tersebut.
C. Kesimpulan
Wahyu adalah
pengetahuan yang di dapatkan oleh seseorang dalam dirinya sendiri disertai
keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah SWT, baik melalui pelantara maupun
tanpa pelantara. Baik menjelma seperti suara yang masuk dalam telinga ataupun
lainya. Sedangkan akal adalah peralatan manusia yang memiliki fungsi untuk
membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang
kemampuanya sangat luas.
Kedudukan antara wahyu dalam Islam sama-sama penting.
Karena Islam tak akan terlihat sempurna jika tak ada wahyu maupun akal. Dan
kedua hal ini sangat berpengaruh dalam segala hal dalam Islam. Dapat dilihat
dalam hukum Islam, antar wahyu dan akal ibarat penyeimbang. Andai ketika hukum
Islam berbicara yang identik dengan wahyu, maka akal akan segerah menerima dan
mengambil kesimpulan bahwa hal tersebut sesuai akan suatu tindakan yang terkena
hukum tersebut. Karena sesungguhnya akal dan wahyu itu memiliki kesamaan yang
diberikan Allah, namun wahyu hanya orang-orang tertentu saja yang mendapatkanya
tanpa seorangpun yang mengetahu, sedangkan akal itu hadiah terindah bagi setiap
manusia yang diberikan oleh Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Atang, Metodologi
Study Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, tt), hlm. 47-48
Sahrodi, Jamali
Pengantar Falsafah Islam, CV Pangger 2009
Nasution, Harun Teologi
Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), Jakarta: UI Press,1986.
www.google.com// pengertian
akal dan wahyu.ic.id diakses selasa, tanggal 3 Desember 2013.
Nasution, Harun Teologi
Islam (Aliran-Aliran Sejarah AnalisaPerbandingan), (Jakarta: UI Press,1986),
hlm. 34
0 komentar:
Posting Komentar