Kamis, 05 November 2015

MAKALAH FIQIH MU'AMALAH

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Manusia hidup di dunia dituntut untuk berhubungan dan berinteraksi dengan yang lainnya. Hal yang sangat mustahil jika manusia hidup di dunia tanpa berhubungan dan berinteraksi dengan yang lainnya. Namun untuk melakukan semua itu, dalam aagama Islam manusia harus bisa memenuhi aturan-aturannya, karena agama Islam telah mengatur semua hal-hal yang terkait tentang hubungan manusia dengan manusia lainnya seperti masalah perdagangan/ jual beli, pegadaian, sewa menyewa, dan yang lainnya.
Dalam kitab fiqih bab yang menjelaskan tentanhubungan dan interaksi antara manusia dengan manusia lainnya dalam kehidupan sehari-hari itu dinamakan dengan bab mu’amalah. Bab mu’amalah sangat penting untuk kita pelajari dan fahami, karena dengan mempelajari dan memahami bab mu’amalah kita akan bisa melakukan hubungan dan interaksi dengan yang lainnya sesuai dengan agama Islam.
B.     Rumusan Masalah
1.    Apa Pengertian mu’amalah?
2.    Bagaimana pembagian mu’amalah?
3.    Apa ruang lingkup fiqh mu’amalah?
4.    Bagaimana hubungan antara fiqh muamalah dan fiqih lainnya?
5.    Bagaimana penjelasan tentang fiqh mu’amalah dan hukum perdata?

C.    Tujuan Masalah
1.    Ingin mengetahui pengertian mu’amalah.
2.    Ingin mengetahui tentang pembagian mu’amalah.
3.    Ingin memahami ruang lingkup fiqh mu’amalah.
4.    Ingin mengetahui hubungan hukum Islam dengan hukum romawi.
5.    Ingnin memamahami fiqh mu’amalah dan hukum perdata
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Muamalah
Pengertian muamalah dapat dilihat dari dua segi, pertama dari segi bahasa dan kedua dari istilah. Menurut bahasa, muamalah berasal dari kata:  عامل – يعامل –  معاملةsama dengan wazan  فاعل – يفاعل - مفاعلةbahasa Arab yang artinya, saling bertindak, saling berbuat, dan saling mengamalkan. Sedangkan menurut istilah pengertian muamalah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu pengertian muamalah dalam arti luas dan penegertian muamalah dalam arti sempit.[1] Dalam definisi muamalah dalam arti luas dijelaskan oleh para ahli sebagai berikut:
1.    Al-Dimiyati berpendapat bahwa muamlah adalah:
التحصيل الدنيوي ليكون سببا للأخر
 “Menghasilkan duniawi, supaya menjadi sebab suksesnya masalah ukhrawi”.[2]
2.    Muhammad Yusuf Musa berpendapat bahwa muamalah adalah peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia”.[3]
3.    Mu’amalah adalah segala peraturan yang diciptakan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam hidup dan kehidupan.
Dari pengertian-pengertian para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa mu’amlah adalah aturan-aturan hukum Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan sosial. Kaidah Muamalah dalam arti luas, tata aturan Ilahi yang mengatur hubungan sesama manusia dan hubungan antara manusia dan benda.
 Muamalah dalam arti luas ini secara garis besar terdiri atas dua bagian besar, diantaranya :
1.    Al-Qanunul Khas “hukum perdata” yang meliputi :
a.    Muamalah dalam arti sempit ( hukum niaga)
b.    Munakah (hukum nikah)
c.    Waratsah (hukum waris)
d.   Dll.
2.    Al-Qanunul ‘Am “hukum publik” yang meliputi :
a.     Jinayah ( hukum pidana)
b.    Khilafah ( hukum kenegaraan)
c.     Jihad (hukum perang dan damai)
d.    Dll.

Sedangkan pengertian mu’amlah dalam arti sempit didefinisikan oleh para ulama sebagai berikut:[4]
1.    Hudlari Byk mendefinisikan bahwa mu’amalah yaitu:
المعاملة جميع العقود التى بها يتبادل منافعهم
“Muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling tukar menukar manfaatnya”.
2.    Menurut Idris Ahmad,[5] “Muamalah adalah aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat keperluan jasmaniyah dengan cara yang paling baik”.
3.    Menurut Rasyid Ridha, “Muamalah adalah tukar-menukar barang atau suatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan.
Jika ketiga definisi di atas ditelaah secara seksama, fiqh muamalah dalam arti sempit menekankan keharusan untuk menaati aturan-aturan Allah yang telah ditetapkan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan cara memperoleh, mengatur, mengelola, dan mengembangkan mal (harta benda). Namun menurut pengertian muamalah di atas, fiqih mu’amalah tidak mencakup berbagai hal yang berkaitan dengan harta, seperti cara mengatur tirkah (harta waris), sebab masalah ini telah diatur dalam disiplin ilmu itu sendiri, yaitu dalam fiqih mawaris.

B.     Pembagian Fiqih Muamalah
            Penetapan pembagian fiqih mu’amalah yang dikemukakan ulama fiqih sangat berkaitan dengan definisi fiqih mu’amalah yang mereka buat, yaitu dalam arti luas atau dalam arti sempit. Ibn Abidin, salah seorang yang mendefinisikan fiqih mu’amalah dalam arti luas membaginya menjadi lima bagian :[6]
1.    Mu’awadhah Maliyah (Hukum Kebendaan)
2.    Munakahat (Hukum Perkawinan)
3.    Muhasanat (Hukum Acara)
4.    Amanat dan ‘Aryah (Pinjaman)
5.    Tirkah (Harta Peninggalan)
Pada pembagian di atas, ada dua bagian yang merupakan disiplin ilmu tersendiri yaitu munakahat dan tirkah. Hal itu bisa dimaklumi, sebab Ibn Abidin menetapkan pembagian di atas dari sudut fiqih muamalah dalam pengertian luas.
Sedang Al-Fikri dalam kitab Al-Muamalah Al-Madiyah, wa Al-Adabiyah membagi fiqih muamalah menjadi dua bagian:[7]
1.    Al-Muamalah Al-Madiyah
Al-muamalah al-madiyah adalah muamalah yang mengkaji segi objeknya, yaitu benda. Sebagian ulama berpendapat bahwa muamalah al-madiyah bersifat kebendaan, yakni benda yang halal, haram, dan syubhat dimiliki, diperjual belikan atau diusahakan, benda yang menimbulkan kemadaratan dan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia.
Dengan kata lain, al-muamalah al-madiyah adalah aturan-aturan yang telah ditetapkan syara’ dari segi objek benda. Oleh karena itu, berbagai aktifitas muslim yang berkaitan dengan benda seperti: al-dabai’ (jual-beli) tidak hanya ditujukan untuk memperoleh keuntungan semata, tetapi lebih jauh dari itu yakni untuk memperoleh ridho Allah. Konsekuensinya harus menuruti tata cara jual-beli yang telah ditetapkan syara’.
2.    Al-Muamalah Al-Adabiyah
Al-muamalah al-adabiyah maksudnya, muamalah ditinjau dari segi tukar menukar benda yang sumbernya dari panca indera manusia. Sedangkan unsur-unsur penegaknya adalah hak dan kewajiban seperti jujur, hasud, iri, dendam dll.
Dalam bahasa yang lebih sederhana, al-muamalah al-adabiyah adalah aturan-aturan Allah yang berkaitan dengan aktivitas manusia dalam hidup bermasyarakat yang ditinjau dari segi subjeknya, yaitu manusia sebagai pelakunya. Dengan demikian, maksud adabiyah antara lain berkisar dalam keridhoan dari kedua belah pihak yang melangsungkan akad, ijab qabul, dusta dll. Pada prakteknya al-muamalah al-madiyah dan al-adabiyah tidak dapat dipisahkan.

C.    Ruang Lingkup Fiqih Muamalah
                                    Berdasarkan pembagian fiqih muamalah, ruang lingkupnya pun terbagi dua:
1.    Ruang Lingkup Muamalah Adabiyah
Hal-hal yang termasuk ruang lingkup muamalah adabiyah adalah ijab dan qabul, saling meridhoi, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang dari penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta.
2.    Ruang Lingkup Muamalah Madiyah
a.    Jual beli (al-bai’ at-tijarah)
b.    Gadai (rahn)
c.    Jaminan dan tanggungan (kafalah dan dhaman)
d.   Pemindahan utang (hiwalah)
e.    Jatuh bangkit (tafjis)
f.     Batas bertindak (al-hajru)
g.    Perseroan atau perkongsian (asy-syirkah)
h.    Perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah)
i.      Sewa-menyewa tanah (al-musaqah al-mukhabarah)
j.      Upah (ujral al-amah)
k.    Gugatan (asy-syuf’ah)
l.      Sayembara (al-ji’alah)
m.  Pembagian kekayaan bersama (al-qismah)
n.    Pemberian (al-hibbah)
o.    Pembebasan ( al-ibra’), damai (ash-shulhu)
p.    Beberapa masalah mu’ashirah (muhaditsah), seperti masalah bunga bank, asuransi, kredit, dan masalah lainnya.

D.    Hubungan antara Fiqih Muamalah dan Fiqih Lainnya
            Telah disinggung bahwa para ulama fiqih telah mencoba mengadakan pembidangan ilmu fiqih. Namun demikian, diantara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam pembidangannya.
1.    Ada yang membaginya menjadi dua bagian yaitu: ibadah dan muamalah.
2.    Ada yang membaginya menjadi tiga bagian yaitu: ibadah, muamalah, dan uqubah (pidana Islam).
3.    Ada juga yang membaginya menjadi empat bagian yaitu: ibadah, muamalah, munakahat, dan uqubah (pidana Islam).
Di antara pembagian diatas, pembagian yang pertama lebih banyak disepakati oleh para ulama. Hanya saja maksud muamalah di atas adalah dalam arti luas, yang mencakup bidang-bidang fiqih lainnya.
Dengan demikian, fiqih muamalah dalam arti luas merupakan bagian dari fiqih secara umum. Di samping fiqih ibadah yang mencakup bidang-bidang fiqih lainnya, seperti fiqih munakahat, fiqih muamalah dalam arti sempit dan lain-lain. Adapun fiqih muamalah dalam arti sempit merupakan bagian dari fiqih muamalah dalam arti luas yang setara dengan bidang fiqih di bawah cakupan arti fiqih secara luas.

E.     Fiqh Mu’amalah dan Hukum Perdata
Mu’amalah terbagi dua pengertian, yakni mu’amalah dalam arti luas dan mu’amalah dalam arti sempit. Mu’amalah dalam arti luas mencakup masalah al-ahwal al-syahsyiyah, hukum keluarga yang mengatur hubungan antara suami istri, anak dan keluarganya. Pokok kajiannya meliputi munakahat, mawaris, wasiat, dan wakaf. Wakaf termasuk bidang ibadah bila ditinjau dari segi niat, kemungkinan masuk al-ahwal al-syahsyiyah bila wakaf itu wakaf dzuri yaitu wakaf untuk keluarga.
Mu’amalah dalam arti sempit membahas jual beli, gadai, salam, pemindahan utang, serta yang lainnya.
Hukum perdata positif yang berlaku di Indonesia mengatur hukum orang pribadi dan hukum keluarga, hukum benda dan hukum waris, hukum perikatan dan sebagainya. Hal ini dijelaskan oleh H. A. Djazuli dalam bukunya Ilmu Fiqh, dengan menyatakan bahwa bidang-bidang tersebut dalam hukum Islam terdapat dalam al-ahwal al-syahsyiyah, mu’amalah dan qadla. Olehkarena itu tidak tepat mempersamakan bidang fiqih mu’amalah dengan hukum perdata. Bahkan ada sebagian hukum perdata oleh sebagian para ulama di bahas dalam bidang ushul fiqih, seperti tentang subjek hukum atau orang mukalaf. Sistematika fiqih mu’amalah dan hukum perdata positif terdapat perbedaan-perbedaan karena sisitematika hukum perdata mengatur orang pribadi, sedangkan hukum orang pribadi tidak dijelaskan dalam fiqih mu’amalah, tetapi dijelaskan dalam ushul fiqh.




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan   
Pengertian muamalah dapat dilihat dari dua segi, pertama dari segi bahasa dan kedua dari istilah. Menurut bahasa, muamalah berasal dari kata:   عامل – يعامل –  معاملة sama dengan wazan  فاعل – يفاعل - مفاعلةbahasa Arab yang artinya, saling bertindak, saling berbuat, dan saling mengamalkan. Sedangkan menurut istilah pengertian muamalah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu pengertian muamalah dalam arti luas dan penegertian muamalah dalam arti sempit.
Penetapan pembagian fiqih muamalah yang dikemukakan ulama fiqih sangat berkaitan dengan definisi fiqih muamalah yang mereka buat, yaitu dalam arti luas atau dalam arti sempit.
Berdasarkan pembagian fiqih muamalah, ruang lingkupnya pun terbagi dua:
1.      Ruang Lingkup Muamalah Adabiyah
2.      Ruang Lingkup Muamalah Madiyah
          Telah disinggung bahwa para ulama fiqih telah mencoba mengadakan pembidangan ilmu fiqih. Namun demikian, diantara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam pembidangannya.
1.      Ada yang membaginya menjadi dua bagian yaitu: ibadah dan muamalah.
2.      Ada yang membaginya menjadi tiga bagian yaitu: ibadah, muamalah, dan uqubah (pidana Islam).
3.      Ada juga yang membaginya menjadi empat bagian yaitu: ibadah, muamalah, munakahat, dan uqubah (pidana Islam).
Mu’amalah terbagi dua pengertian, yakni mu’amalah dalam arti luas dan mu’amalah dalam arti sempit. Mu’amalah dalam arti luas mencakup mencakup masalah al-ahwal al-syahsyiyah, hukum keluarga yang mengatur hubungan antara suami istri, anak dan keluarganya. Pokok kajiannya meliputi munakahat, mawaris, wasiat, dan wakaf. Mu’amalah dalam arti sempit membahas jual beli, gadai, salam, pemindahan utang, serta yang lainnya.


DAFTAR PUSTAKA

Dimyathi, Sayyid Muhammad Syatha.t.t I’anat al-Thalibin. Toha Putra: Semarang
Suhendi, Hendi. Fiqh Mu’amalah. 2002. Rajawali Pers: Jakarta.
Madjid, Abdul. 1986. Pokok-Pokok Fiqih Mu’amalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam. IAIN Sunan Gunung Jati: Bandung

























[1] Hendi Suhendi, Fiqh Mu’amalah, hlm. 1
[2] Al-Dimyati, I’anat al-Thalibin, hlm. 2
[3] Abdul Madjid, Pokok-pokok Fiqh Mu’amalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam, hlm 1
[4] Hendi Suhendi, Fiqh Mu’amalah, hlm. 2

[6] Nana Masduki, Fiqh Muamalah (diktat), Bandung, IAIN Sunan Gunung Djati, 1987, hlm. 4
[7] Ibid, hlm. 4

0 komentar:

Posting Komentar