Minggu, 30 Agustus 2015

RISALAH ISLAM INDONESIA

Muslim Indonesia punya sejarah luar biasa. Sahabat Rasulullah, pernah pula langsung berdakwah di Nusantara.
Melacak sejarah masuknya Islam ke Indonesia bukanlah urusan mudah. Tak banyak jejak yang bisa dilacak. Ada beberapa pertanyaan awal yang bisa diajukan untuk menelusuri kedatangan Islam di Indonesia. Beberapa pertanyaan itu adalah, darimana Islam datang? Siapa yang membawanya dan kapan kedatangannya?
 
 
Ada beberapa teori yang hingga kini masih sering dibahas, baik oleh sarjana-sarjana Barat maupun kalangan intelektual Islam sendiri. Setidaknya ada tiga teori yang menjelaskan kedatangan Islam ke Timur Jauh termasuk ke Nusantara. Teori pertama diusung oleh Snouck Hurgronje yang mengatakan Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali dan Malabar disebut sebagai asal masuknya Islam di Nusantara.

Dalam L’arabie et les Indes Neerlandaises, Snouck mengatakan teori tersebut didasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal, yakni pada abad ke-12 atau 13. Snouck juga mengatakan, teorinya didukung dengan hubungan yang sudah terjalin lama antara wilayah Nusantara dengan daratan India.

Sebetulnya, teori ini dimunculkan pertama kali oleh Pijnappel, seorang sarjana dari Universitas Leiden. Namun, nama Snouck Hurgronje yang paling besar memasarkan teori Gujarat ini. Salah satu alasannya adalah, karena Snouck dipandang sebagai sosok yang mendalami Islam. Teori ini diikuti dan dikembangkan oleh banyak sarjana Barat lainnya.
Teori kedua, adalah Teori Persia. Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang di Nusantara. Teori ini berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia. Misalnya saja tentang peringatan 10 Muharam yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Rasulullah. Selain itu, di beberapa tempat di Sumatera Barat ada pula tradisi Tabut, yang berarti keranda, juga untuk memperingati Hasan dan Husein. Ada pula pendukung lain dari teori ini yakni beberapa serapan bahasa yang diyakini datang dari Iran. Misalnya jabar dari zabar, jer dari ze-er dan beberapa yang lainnya.

Teori ini menyakini Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-13. Dan wilayah pertama yang dijamah adalah Samudera Pasai.

Kedua teori di atas mendatang kritikan yang cukup signifikan dari teori ketiga, yakni Teori Arabia. Dalam teori ini disebutkan, bahwa Islam yang masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah atau Madinah. Waktu kedatangannya pun bukan pada abad ke-12 atau 13, melainkan pada awal abad ke-7. Artinya, menurut teori ini, Islam masuk ke Indonesia pada awal abad hijriah, bahkan pada masa khulafaur rasyidin memerintah. Islam sudah mulai ekspidesinya ke Nusantara ketika sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memegang kendali sebagai amirul mukminin.

Bahkan sumber-sumber literatur Cina menyebutkan, menjelang seperempat abad ke-7, sudah berdiri perkampungan Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Di perkampungan-perkampungan ini diberitakan, orang-orang Arab bermukim dan menikah dengan penduduk lokal dan membentuk komunitas-komunitas Muslim.

Dalam kitab sejarah Cina yang berjudul Chiu T’hang Shu disebutkan pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-o-rang Ta Shih, sebutan untuk orang Arab, pada tahun tahun 651 Masehi atau 31 Hijirah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama kedatangan duta yang dikirim oleh Tan mi mo ni’. Tan mi mo ni’ adalah sebutan untuk Amirul Mukminin.

Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo ni’ menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah tiga kali berganti kepemimpinan. Artinya, duta Muslim tersebut datang pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan.

Biasanya, para pengembara Arab ini tak hanya berlayar sampai di Cina saja, tapi juga terus menjelajah sampai di Timur Jauh, termasuk Indonesia. Jauh sebelum penjelajah dari Eropa punya kemampuan mengarungi dunia, terlebih dulu pelayar-pelayar dari Arab dan Timur Tengah sudah mampu melayari rute dunia dengan intensitas yang cukup padat. Ini adalah rute pelayaran paling panjang yang pernah ada sebelum abad 16.

Hal ini juga bisa dilacak dari catatan para peziarah Budha Cina yang kerap kali menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 untuk pergi ke India. Bahkan pada era yang lebih belakangan, pengembara Arab yang masyhur, Ibnu Bathutah mencatat perjalanannya ke beberapa wilayah Nusantara. Tapi sayangnya, tak dijelaskan dalam catatan Ibnu Bathutah daerah-daerah mana saja yang pernah ia kunjungi.

Kian tahun, kian bertambah duta-duta dari Timur Tengah yang datang ke wilayah Nusantara. Pada masa Dinasti Umayyah, ada sebanyak 17 duta Muslim yang datang ke Cina. Pada Dinasti Abbasiyah dikirim 18 duta ke negeri Cina. Bahkan pada pertengahan abad ke-7 sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim di Kanfu atau Kanton.

Tentu saja, tak hanya ke negeri Cina perjalanan dilakukan. Beberapa catatan menyebutkan duta-duta Muslim juga mengunjungi Zabaj atau Sribuza atau yang lebih kita kenal dengan Kerajaan Sriwijaya. Hal ini sangat bisa diterima karena zaman itu adalah masa-masa keemasan Kerajaan Sriwijaya. Tidak ada satu ekspedisi yang akan menuju ke Cina tanpa melawat terlebih dulu ke Sriwijaya.

Sebuah literatur kuno Arab yang berjudul Aja’ib al Hind yang ditulis oleh Buzurg bin Shahriyar al Ramhurmuzi pada tahun 1000 memberikan gambaran bahwa ada perkampungan-perkampungan Muslim yang terbangun di wilayah Kerajaan Sriwijaya. Hubungan Sriwijaya dengan kekhalifahan Islam di Timur Tengah terus berlanjut hingga di masa khalifah Umar bin Abdul Azis. Ibn Abd Al Rabbih dalam karyanya Al Iqd al Farid yang dikutip oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII menyebutkan ada proses korespondensi yang berlangsung antara raja Sriwijaya kala itu Sri Indravarman dengan khalifah yang terkenal adil tersebut.

“Dari Raja di Raja [Malik al Amlak] yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga cucu seribu raja; yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya,” demikian antara lain bunyi surat Raja Sriwijaya Sri Indravarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Azis. Diperkirakan hubungan diplomatik antara kedua pemimpin wilayah ini berlangsung pada tahun 100 hijriah atau 718 masehi.

Tak dapat diketahui apakah selanjutnya Sri Indravarman memeluk Islam atau tidak. Tapi hubungan antara Sriwijaya Dan pemerintahan Islam di Arab menjadi penanda babak baru Islam di Indonesia. Jika awalnya Islam masuk memainkan peranan hubungan ekonomi dan dagang, maka kini telah berkembang menjadi hubungan politik keagamaan. Dan pada kurun waktu ini pula Islam mengawali kiprahnya memasuki kehidupan raja-raja dan kekuasaan di wilayah-wilayah Nusantara.

Pada awal abad ke-12, Sriwijaya mengalami masalah serius yang berakibat pada kemunduran kerajaan. Kemunduran Sriwijaya ini pula yang berpengaruh pada perkembangan Islam di Nusantara. Kemerosotan ekonomi ini pula yang membuat Sriwijaya menaikkan upeti kepada kapal-kapal asing yang memasuki wilayahnya. Dan hal ini mengubah arus perdagangan yang telah berperan dalam penyebaran Islam.

Selain Sabaj atau Sribuza atau juga Sriwijaya disebut-sebut telah dijamah oleh dakwah Islam, daerah-daerah lain di Pulau Sumatera seperti Aceh dan Minangkabau menjadi lahan dakwah. Bahkan di Minangkabau ada tambo yang mengisahkan tentang alam Minangkabau yang tercipta dari Nur Muhammad. Ini adalah salah satu jejak Islam yang berakar sejak mula masuk ke Nusantara.

Di saat-saat itulah, Islam telah memainkan peran penting di ujung Pulau Sumatera. Kerajaan Samudera Pasai menjadi kerajaan Islam pertama yang dikenal dalam sejarah. Namun ada pendapat lain dari Prof. Ali Hasjmy dalam makalahnya pada Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh yang digelar pada tahun 1978. Menurut Ali Hasjmy, kerajaan Islam pertama adalah Kerajaan Perlak.

Masih banyak perdebatan memang, tentang hal ini. Tapi apapun, pada periode inilah Islam telah memegang peranan yang signifikan dalam sebuah kekuasaan. Pada periode ini pula hubungan antara Aceh dan kilafah Islam di Arab kian erat.

Selain pada pedagang, sebetulnya Islam juga didakwahkan oleh para ulama yang memang berniat datang dan mengajarkan ajaran tauhid. Tidak saja para ulama dan pedagang yang datang ke Indonesia, tapi orang-orang Indonesia sendiri banyak pula yang hendak mendalami Islam dan datang langsung ke sumbernya, di Makkah atau Madinah. Kapal-kapal dan ekspedisi dari Aceh, terus berlayar menuju Timur Tengah pada awal abad ke-16. Bahkan pada tahun 974 hijriah atau 1566 masehi dilaporkan, ada lima kapal dari Kerajaan Asyi (Aceh) yang berlabuh di bandar pelabuhan Jeddah.

Ukhuwah yang erat antara Aceh dan kekhalifahan Islam itu pula yang membuat Aceh mendapat sebutan Serambi Makkah. Puncak hubungan baik antara Aceh dan pemerintahan Islam terjadi pada masa Khalifah Utsmaniyah. Tidak saja dalam hubungan dagang dan keagamaan, tapi juga hubungan politik dan militer telah dibangun pada masa ini. Hubungan ini pula yang membuat angkatan perang Utsmani membantu mengusir Portugis dari pantai Pasai yang dikuasai sejak tahun 1521. Bahkan, pada tahun-tahun sebelumnya Portugis juga sempat digemparkan dengan kabar pemerintahan Utsmani yang akan mengirim angkatan perangnya untuk membebaskan Kerajaan Islam Malaka dari cengkeraman penjajah. Pemerintahan Utsmani juga pernah membantu mengusir Parangi (Portugis) dari perairan yang akan dilalui Muslim Aceh yang hendak menunaikan ibadah haji di tanah suci.

Selain di Pulau Sumatera, dakwah Islam juga dilakukan dalam waktu yang bersamaan di Pulau Jawa. Prof. Hamka dalam Sejarah Umat Islam mengungkapkan, pada tahun 674 sampai 675 masehi duta dari orang-orang Ta Shih (Arab) untuk Cina yang tak lain adalah sahabat Rasulullah sendiri Muawiyah bin Abu Sofyan, diam-diam meneruskan perjalanan hingga ke Pulau Jawa. Muawiyah yang juga pendiri Daulat Umayyah ini menyamar sebagai pedagang dan menyelidiki kondisi tanah Jawa kala itu. Ekspedisi ini mendatangi Kerajaan Kalingga dan melakukan pengamatan. Maka, bisa dibilang Islam merambah tanah Jawa pada abad awal perhitungan hijriah.

Jika demikian, maka tak heran pula jika tanah Jawa menjadi kekuatan Islam yang cukup besar dengan Kerajaan Giri, Demak, Pajang, Mataram, bahkan hingga Banten dan Cirebon. Proses dakwah yang panjang, yang salah satunya dilakukan oleh Wali Songo atau Sembilan Wali adalah rangkaian kerja sejak kegiatan observasi yang pernah dilakukan oleh sahabat Muawiyah bin Abu Sofyan.

Peranan Wali Songo dalam perjalanan Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa sangatlah tidak bisa dipisahkan. Jika boleh disebut, merekalah yang menyiapkan pondasi-pondasi yang kuat dimana akan dibangun pemerintahan Islam yang berbentuk kerajaan. Kerajaan Islam di tanah Jawa yang paling terkenal memang adalah Kerajaan Demak. Namun, keberadaan Giri tak bisa dilepaskan dari sejarah kekuasaan Islam tanah Jawa.

Sebelum Demak berdiri, Raden Paku yang berjuluk Sunan Giri atau yang nama aslinya Maulana Ainul Yaqin, telah membangun wilayah tersendiri di daerah Giri, Gresik, Jawa Timur. Wilayah ini dibangun menjadi sebuah kerajaan agama dan juga pusat pengkaderan dakwah. Dari wilayah Giri ini pula dihasilkan pendakwah-pendakwah yang kelah dikirim ke Nusatenggara dan wilayah Timur Indonesia lainnya.

Giri berkembang dan menjadi pusat keagamaan di wilayah Jawa Timur. Bahkan, Buya Hamka menyebutkan, saking besarnya pengaruh kekuatan agama yang dihasilkan Giri, Majapahit yang kala itu menguasai Jawa tak punya kuasa untuk menghapus kekuatan Giri. Dalam perjalanannya, setelah melemahnya Majapahit, berdirilah Kerajaan Demak. Lalu bersambung dengan Pajang, kemudian jatuh ke Mataram.

Meski kerajaan dan kekuatan baru Islam tumbuh, Giri tetap memainkan peranannya tersendiri. Sampai ketika Mataram dianggap sudah tak lagi menjalankan ajaran-ajaran Islam pada pemerintahan Sultan Agung, Giri pun mengambil sikap dan keputusan. Giri mendukung kekuatan Bupati Surabaya untuk melakukan pemberontakan pada Mataram.

Meski akhirnya kekuatan Islam melemah saat kedatangan dan mengguritanya kekuasaan penjajah Belanda, kerajaan dan tokoh-tokoh Islam tanah Jawa memberikan sumbangsih yang besar pada perjuangan. Ajaran Islam yang salah satunya mengupas makna dan semangat jihad telah menorehkan tinta emas dalam perjuangan Indonesia melawan penjajah. Tak hanya di Jawa dan Sumatera, tapi di seluruh wilayah Nusantara.

Muslim Indonesia mengantongi sejarah yang panjang dan besar. Sejarah itu pula yang mengantar kita saat ini menjadi sebuah negeri Muslim terbesar di dunia. Sebuah sejarah gemilang yang pernah diukir para pendahulu, tak selayaknya tenggelam begitu saja. Kembalikan izzah Muslim Indonesia sebagai Muslim pejuang. Tegakkan kembali kebanggaan Muslim Indonesia sebagai Muslim bijak, dalam dan sabar.

Kita adalah rangkaian mata rantai dari generasi-generasi tangguh dan tahan uji. Maka sekali lagi, tekanan dari luar, pengkhianatan dari dalam, dan kesepian dalam berjuang tak seharusnya membuat kita lemah. Karena kita adalah orang-orang dengan sejarah besar. Karena kita mempunyai tugas mengembalikan sejarah yang besar. Wallahu a’lam.n

SYA'IR PETUAH ALFIYAH



 {قال محمد هو ابن مالك  *  أحمد ربي الله خير مالك}
Berbakti dan selalu mengingat segala kebaikan orang tua adalah harus, Nabi saja diperintah untuk mengingat jasa Ibrohim AS selaku nenek moyangnya.
                                                                                   
{تقرّب الأقص بلفظ موجز *  وتبسط البذل بوعد منجز}
Sesulit apapun sebuah materi akan mudah dipahami, bila diterangkan dengan lugas, jelas dan singkat. Begitu pula dengan problema hidup, akan mudah kita jalani bila dihadapi dengan hati yang jernih dan rileks.

{وفي لدنّي لدني قلّ وفي *  قدني وقطني الحذف أيضا قد يفي}
Jangan berharap mendapatkan ilmu tanpa usaha belajar (Laduni), sebab hal itu hanya dapat diraih oleh orang yang khos (spesifik).

{والخبر الجزء المتم الفائدة * كالله برّ والايادي شاهدة }
Kabar adalah penyempurna tali hubungan.

{والرفع في غير الّذي مرّ رجح * فما أبيح افعل ودع ما لم يبح}
Kerjakanlah hukum-hukum yang diperbolehkan
dan tinggalkanlah yang dilarang

{وحذف عامل المؤكد امتنع * وفي سواه لدليل متسع}
Janganlah melupakan apalagi meninggalkan sahabat sejati yang baik dan yang selalu mengarahkan kebaikan.

 {وما يلي المضاف يأتي خلفا * عنه فى الاعراب اذا ما حذفا }
Seseorang yang selalu mengiringi orang yang diikutinya pasti suatu saat akan menggantikan kedudukannya jika yang diikutinya sudah tiada

{وزكه تزكية وأجملا *  اجمال من تجملا تجملا }
Bersihkan hati dan percantik akhlakmu dengan sebaik-baiknya

{لأقعد الجبن عن الهيجاء * ولو توالت زمر الأعداء }

Saya tak akan menyerah, duduk termangu sebagai pengecut walaupun serangan grombolan musuh datang bertubi-tubi.

Senin, 10 Agustus 2015

MAKALAH "TURUNNYA AL-QUR'AN DENGAN TUJUH HURUF"


TURUNNYA AL-QUR’AN DENGAN TUJUH HURUF
         
Diajukan sebagai Tugas Terstruktur
Mata Kuliah Pengantar Studi Al-Qur’an

Dosen Pengampu : H. Jajang Aisyul Muzakki, M.Pd.I
 











Disusun Oleh :
1.      Haris ibnu Muttaqin ((1414112076)
2.      Syaefudin (1414111055)
3.      Galuh Hendana Ahadan (1414112074)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM / 1-B
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI
CIREBON
2014

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Al-Qur’an merupakan kitab yang paling sempurna yang diturunkan oleh Allah SWT. Kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui Malaikat Jibril yang bertujuan untuk memberikan petunjuk kepada umat islam. Al-Qur’an diturunkan tidak secara langsung, namun diturunkan secara berangsur-angsur. Hal ini disebabkan untuk mempermudah Nabi dalam penerimaanya dan di samping itu juga banyak faktor yang mempengaruhi kenapa Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur.
Pada pembahsan Uluml Qur’an ada beberapa poin yang menjelaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf dan hal ini banyak diperdebatkan oleh para ulama mengenai maksud dari tujuh huruf, dalil-dalil yang menunjukan akan hal tersebut serta hikmah yang terkandung di dalamnya. Banyak ulama yang berupaya untuk menjelaskannya, baik di masa lampau maupun di masa sekarang. Oleh karenanya, agar bisa mengetahi lebih jelas, kami ingin memaparkan tentang hal-hal tersebut melelui makalah yang kami buat.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana proses turunnya Al-Qur’an dan apa hikmahnya ?
2.      Bagaimana dalil diturunkannya Al-Qur’an dengan tujuh huruf ?
3.      Apa perbedaan pendapat tentang pengertian tujuh huruf ?
4.      Apa saja hikmah diturunkannya Al-Qur’an dengan tujuh huruf ?

C.    TUJUAN
1.      Megetahui proses turunnya Al-Qur’an serta hikmah-hikmahnya
2.      Mengetahui dalil-dalil diturunkannya Al-Qur’an dengan tujug huruf
3.      Mengetahui perbedaan pendapat tentang pengertian tujuh huruf
4.      Mengetahu hikmah diturunkannya Al-Qur’an dengan tujuh huruf

PEMBAHASAN

A.    TAHAPAN TURUNNYA AL-QUR’AN
Al-Qur’an merupakan kitab yang menjadi sumber hukum serta pedoman bagi umat islam yang diturunkan oleh Allah SWT. Kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui malaikat Jibril. Al-Qur’an diturunkan dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari, yaitu mulai malam 17 Romadlon tahun 41 dari kelahiran Nabi, sampai 9 Dzulhijjah Haji Wada’ tahun 63 dari kelahiran Nabi atau 10 H.[1]
Al-Qur’an tidak secara langsung diturunkan kepada Nabi Muhammad namun melalui beberapa tahap. Adapun tahapan turunnya Al-Quran itu ada tiga, yaitu :[2]
1.      Al-Qur’an turun secara sekaligus dari Allah ke Lauh Mahfudz. Proses pertama ini diisyaratkan dalam Al-Qur’an surat Al-Buruj ayat 21-22 :
بَلْ هُوَقُرْانٌ مَجِيْدٌ.فِيْ لَوْحٍ مَحْفُوْظٍ {البروج : ٢١ـ٢٢}
Artinya : “Bahkan yang didustakan mereka ialah Al-Qur’an yang mulia. Yang tersimpan dalam Lauh Mahfudz”. (QS. Al-Buruuj).
2.      Al-Qur’an diturunkan dari Lauh Al-Mahfudz itu ke Bait- Al-Izzah (Tempat yang berada di langit dunia). Proses ke dua ini diisyaratkan Allah dalam surat Al-Qadar ayat 1 :
اِنَّااَنْزَالْنَاهُ فِيْ لَيْلَةِالْقَدْرِ { القدر : ١}
Artinya : “Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan.” (QS. Al-Qadar : 1)
3.      Al-Qur’an diturunkan dari Bait Al-Izzah kedalam hati Nabi Muhammad SAW. Dengan jalan berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Adakalanya satu ayat, dua ayat, dan bahkan kadang-kadang satu surat. Mengenai proses turun dalam tahap ketiga diisyaratkan dalam Al-Qur’an surat As-Syu’ara ayat 193-195 :
نَزَلَ بِهِ الرُّوْحُ الْاَمِيْنُ. عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُوْنُ مِنَ الْمُنْذِرِيْنَ. بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِيْنٍ {الشعراء : ١٩٣ـــ١٩٥}
Artinya : “ Dia dibawa turun oleh ar-ruh al-amin (Jibril), kedalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. Al-Syu’ara : 193-195).
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui Malaikat Jibril tidak secara sekaligus, melainkan turun sesuai dengan kebutuhan. Bahkan sering wahyu turun untuk menjawab pertanyaan para sahabat yang dilontarkan kepada Nabi atau untuk membenarkan tindakan Nabi SAW.

B.     HIKMAH TURUNNYA AL-QUR’AN SECARA BERANGSUR-ANGSUR
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa Al-Qur’an diturunkan tidak sekaligus, namun turun secara berangsur-angsur, dan hal ini memiliki beberapa hikmah kenapa Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur. Hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur yaitu sebagai berikut :[3]
1.      Memantapkan hati Nabi Muhammad SAW.
Ketika menyampaikan dakwah, Nabi sering berhadapan dengan para penentang. Turunnya wahyu yang berangsur-angsur merupakan dorongan tersendiri bagi Nabi untuk terus melanjutkan dakwah.
2.      Menentang dan melemahkan para penentang Al-Qur’an.
Nabi sering berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit yang dilontarkan oleh orang-orang musyrik dengan tujuan melemahkan Nabi. Turunnya wahyu yang berangsur-angsur tidak hanya menjawab pertanyaan itu, bahkan menentang mereka untuk membuat sesuatu yang serupa dengan Al-Qur’an. Dan ketika mereka tidak memenuhi tantangan itu, hal itu sekaligus merupakan sala salah satu mukjizat Al-Qur’an.
3.      Memudahkan untuk dihapal dan dipahami
Al-Qur’an pertama kali turun di tengah-tengah masyarakat yang ummi, yakni yang tidak memiliki pengetahuan tentang bacaan dan tulisan. Turunnya Al-Qur’an secar berangsur-angsur memudahkan mereka untuk memahami dan menghapalnya.
4.      Mengikuti setiap kejadian (yang karenanya ayat-ayat Al-Qur’an turun) dan melakukan penahapan dalam penetapan syari’at.
5.      Membuktikan dengan pasti bahwa Al-Qur’an turun dari Allah yang Maha Bijaksana.

C.    DALIL DITURUNKANNYA AL-QUR’AN DENGAN 7 HURUF
Orang Arab mempunyai aneka ragam lahjah yang timbul dari fitrah mereka dalam suara, dan huruf-huruf sebagaimana di terangkan secara komprehensip dalam kitab-kitab sastra.[4] Apabila orang Arab berbeda lahjah dalam pengungkapan sesuatu makna dengan beberapa perbedaan tertentu, maka Al-Qur’an yang di wahyukan Allah kepada Rasul-Nya, Muhammad, menyempurnakan makna kemukjizatannya. Karena ia mencakup semua huruf dan wajah qiraah pilihan di antara lahjah-lahjah itu. Dan ini merupakan salah satu sebab yang memudahkan mereka untuk membaca, menghafal, dan memahaminya.
Nas-nas sunah cukup banyak mengemukakan hadits mengenai turunya Al-Qur’an dengan tujuh huruf. Di antaranya:
Dari Ibnu Abbas, ia berkata:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : أَقْرَأَنِى جِبْرِيْلُ عَلَى حَرْفٍ فَرَاجَعْتُهُ, فَلَمْ أَزَلْ أَسْتَزِيْدُهُ وَ يَزِيْدُنِى حَتَّى انْتَهَى اِلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ.
Rasulullah berkata: Jibril membacakan (Al-Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulangkali aku mendesak dan meminta agar huruf itu ditambah, dan ia pun menambahnya kepada ku sampai dengan tujuh huruf.” (HR. Bukhori Muslim)
Hadits-hadits yang berkenaan dengan hal itu amat banyak jumlahnya dan sebagian besar telah diselidiki oleh Ibn Jarir di dalam pengantar tafsir-nya. As-Suyuthi menyebutkan bahwa hadits-hadits tersebut di riwayatkan dari dua puluh orang sahabat. Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Salam menetapkan kemutawatiran hadis mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf.[5]

D.    PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA SEPUTAR PENGERTIAN TUJUH HURUF
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan tujuh huruf ini dengan perbedaan yang bermacam-macam. Sehingga Ibn Hayyan mengatakan: “Ahli ilmu berbeda pendapat tentang arti kata tujuh huruf menjadi tiga puluh lima pendapat”.[6] Namun kebanyakan pendapat itu bertumpang tindih. Di sini kami akan mengemukakan beberapa pendapat di antaranya yang di anggap paling mendakati kebenaran.[7]
a.       Sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang di maksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna, dengan pengertian jika bahasa mereka berbeda-beda dalam mengungkapkan satu makna, maka Al-Qur’an pun di turukan dengan sejumlah lafadz sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu. Dan jika tidak terdapat perbedaan, maka Al-Qur’an hanya mendatangkan satu lafadz atau lebih saja. Kemudian mereka berbeda pendapat juga dalam menentukan ketujuh bahasa
tersebut. Di katakan bahwa ketujuh bahasa itu adalah bahasa quraisy, huzail, saqif, hawazin, kinanah, tamim dan yaman. Menurut Abu Hatim As-Sijistani, Al-Qur’an di turunkan dalam bahasa Quraisy, Huzail, Tamim, Azad, Rabi’ah, Hawazin, dan Sa’ad bin Bakar. Dan diriwayatkan pula pendapat yang lain.
b.      Suatu kaum berpendapat bahwa yang di maksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa arab dengan makna Al-Qur’an di turunkan, dengan pengertian bahwa kata-kata dalam Al-Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa tadi, yaitu bahasa paling fasih di kalangan bangsa arab, meskipun sebagian besarnya bahasa quraisy. Sedang sebagian yang lain dalam bahasa Huzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim atau Yaman, karana itu maka secara keseluruhan Al-Qur’an mencakup ketujuh bahasa tersebut. Pendapat ini berbeda dengan pendapat sebelumnya, karena yang di maksud dengan tujuh huruf dalam pendapat ini adalah tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surah Al-Qur’an, bukan tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam makna.
Berkata Abu ‘Ubaid: “Yang di maksud bukanlah setiap kata boleh di baca dengan tujuh bahasa, tetapi tujuh bahasa yang bertebaran dalam Al-Qur’an. Sebagiannya bahasa Quraisy, sebagian yang lain bahasa Huzail, Hawazin, Yaman, dan lain-lain” dan katanya pula: “ Sebagian bahasa-bahasa itu lebih beruntung karena dominan dalam Al-Qur’an.”
c.       Sebagian ulama meneyebutkan bahwa yang di maksud dengan tujuh huruf adalah tujuh wajah, yaitu: amr, nahyu, wa’d, wa’id, jadal, qasas, dan masal. Atau amr, nahyu, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amsal.
d.      Segolongan ulama berpendapat bahwa yang di maksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang di dalamnya terjadi ikhtilaf, yaitu:
1.      Ikhtilaful asma’ ( perbedaan kata benda)
2.      Perbedaan dalam segi i’rab (harokat akhir kata)
3.      Perbedaan dalam tasrif,
4.      Perbedaan dalam taqdim (mendhulukan) dan ta’khir (mengakhirkan)
5.      Perbedaan dalam segi ibdal (penggantian)
6.      Perbedaan karena ada penambahan dan pengurangan
7.      Perbedaan lahjah.
e.       Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak di artikan secara harfiah, tetapi bilangan tersebut hanya sebagai lambang kesempurnaan menurut kebiasaan orang Arab. Dengan demikian, maka kata tujuh adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan Al-Qur’an merupakan batas dan sumber utama bagi perkataan semua orang arab yang telah mencapai puncak kesempurnaan tertinggi. Sebab, lafadz sab’ah dipergunakan pula untuk menunjukan jumlah banyak dan sempurna dalam bilangan satuan, seperti “tujuh puluh” dalam bilangan puluhan, dan “tujuh ratus” dalam ratusan. Tetapi kata-kata itu tidak di maksudkan untuk menunjukan bilangan tertentu.
f.       Segolongan ulama berpendapat bahwa yang di maksud dengan tujuh huruf tersebut adalah qiraat tujuh.
Tarjih dan Analisis
            Pendapat terkuat dari semua pendapat tersebut adalah pendapat pertama, yaitu bahwa yang di maksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa arab dalam mengungkapkan satu makna yang sama. Misalnya: aqbil, ta’ala, hulumma, ‘ajal dan asra’. Lafadz-lafadz yang berbeda ini digunakan untuk menunjukan satu makna yaitu perintah untuk menghadap. Pendapat ini di pilih oleh Sufyan bin ‘Uyainah, ibn Jarir, ibn Wahb dan lainya. Ibn ‘Abdil Bar menisbatkan pendapat ini kepada sebagian besar ulama dan dalil bagi pendapat ini ialah apa yang terdapat dalam hadits abu bakrah berikut :
 Jibril mengatakan: “Wahai Muhammad, bacalah Al-Qur’an dengan satu huruf, lalu Mikail mengatakan: tambahkanlah. Jibril berkata lagi: dengan dua huruf! Jibril terus menambahnya hingga sampai dengan enam atau tujuh huruf. Lalu ia berkata: semua itu obat penawar yang memadai, selama ayat azab tidak di tutup dengan ayat rahmat, dan ayat rahmat tidak di tutup dengan ayat madzhab. Seperti kata-kata: hulumma, ta’ala, aqbil, izhab, asra’ dan ‘ajal”

E.     HIKMAH DARI TURUNNYA AL-QUR’AN DENGAN TUJUH HURUF
Hikmah yang dapat diambil dengan kejadian turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah sebagai berikut:[8]
1. Untuk memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, tidak bisa baca tulis, yang setiap kabilahnya mempunyai dialek masing-masing, namun belum terbiasa menghafal syari’at, apa lagi mentradisikannya.
2. Bukti kemukjizatan Qur’an bagi naluri atau watak dasar kebahasan orang arab. Qur’an mempunyai banyak pola susunan bunyi yang sebanding dengan segala macam cabang dialek bahasa yang telah menjadi naluri bahasa orang-orang arab, sehingga setiap orang arab dapat mengalunkan huruf-huruf dan kata-katanya sesuai dengan irama yang telah menjadi watak dasar mereka dan lahjah kaumnya, dengan tetap keberadaan Qur’an sebagai mukjizat yang ditantangkan Rasulullah kepada mereka. Dan mereka tidak mampu menghadapi tantangan tersebut. Sekalipun demikian, kemukjizatan itu bukan terhadap bahasa melainkan terhadap
 naluri kebahasaan mereka itu sendiri.
3. Kemukjizatan Qur’an dalam aspek makna dan hukum-hukumnya. Sebab perubahan-perubahan bentuk lafadz pada sebagian huruf dan kata-kata memberikan peluang luas untuk dapat disimpulkan dari padanya berbagai hukum. Hal inilah yang menyebabkan Qur’an relevan untuk setiap masa. Oleh karena itu, para fuqaha dalam istinbat (penyimpulan hukum) dan ijtihad berhujjah dengan qiraat bagi ketujuh huruf ini.










PENUTUP

KESIMPULAN
            Kesimpulannya bahwa Al-Qur’an itu diturunkan secara berangsur-angsur. Hal yang demikian disebabkan oleh beberapa faktor yang nantinya akan mempermudah Nabi untuk menerimanya serta membuktikan bahwa Al-Qur’an itu benar-benar kitab yang diturunkan oleh Allah SWT. Dzat yang Maha bijaksana sehingga Al-Qur’an turun sesuai dengan tujuan dan fungsinya.
            Di atas juaga pada intinya menjelaskan bahwa sesuai dengan masing-masing pendapat para ulama, Al-Qur’an itu diturunkan atas tujuh huruf. Dan hal tersebut mempunyai dalil-dalil tersendiri serta mempunyai beberapa hikmah yang terkandung di dalamnya.

















DAFTAR PUSTAKA

Hudlari Bik, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, Terj. Mohammad Zuhri, Rajamurah Al-Qona’ah, 1980
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, CV Pustaka Setia, 2010
Al-Itqan, Jilid 1
Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Pustaka Litera Antar Nusa, 2013




[1] Hudlari Bik, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, Terj. Mohammad Zuhri, Rajamurah Al-Qona’ah, 1980, hlm.5-6
[2] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, hlm 34.
[3] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, hlm 36.

[4] Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, hlm 225.
[5] Al-Itqan, Jilid 1, hlm 41.
[6] Al-Itqan, Jilid 1, hlm 45.
[7] Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, hlm 229.
[8] Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, hlm 244.

FILSAFAT PENDIDIKAN





POTRET GURU MENURUT PROGRESIVISME
            Peranan sekolah adalah memelihara dan menyampaikan warisan budaya dan sejarah pada generasi pelajar dewasa ini, melalui hikmat dan pengalaman yang terakumulasi dari disiplin tradisioanl. Selanjutnya mengenai pearanan guru banyak persamaan dengan perenialisme. Guru di anggap sebagai seorang yang menguasai lapangan subjek khusus dan merupakan model contoh yang sangat baik untuk di gugu dan di tiru. Guru merupakan orang yang menguasai pengetahuan, dan kelas bearada di bawah pengaruh dan pengawasan guru.[1]
Guru dalam melakukan tugasnya mempunyai peranan sebagai:
1.    Fasilitator, orang yang menyediakan diri untuk memberi makna jalan kelancaran proses belajar sendidri siswa.
2.    Motivator, orang yang mampu membangkitkan minat siswa untuk terus giat belajar sendiri
3.    Konselor, orang yang membantu siswa menemukan dan mengatasi sendiri masalah-masalah yang di hadapi oleh setiap siswa. Dengan demikian, guru perlu mempunyai pemahaman yang baik tentang karakteristik siswa dan tehnik-tehnik memimpin perkembangan siswa, serta kecintaan pada anak agar dapat menjalankan peranannya dengan baik.[2]
Guru menurut pandangan filsafat progresivisme adalah sebagai penasihat, pembimbing, pengarah, dan bukan segai orang pemegang otoritas penuh yang

Potret guru menurut rekontruksionisme
            Martha perkins seorang guru di SMU mengajar IPS dan sejarah memiliki reputasi sebagai seorang aktifis sosial. Suaranya yang lembut dan senyuman yang hangat mengingkari intensitas pengaruhnya mengenai tekanan isu-isu dunia, dari terorisme internasional dan kelaparan sampai pada pemanfaatan ruang angkasa yang damai. Dan pentingnya semua manusia untuk bekerja pada suatu komunitas global.
            Selama awal tahun 1970-an, Martha berpartisipasi sebagai siswa sekolah menengah dalam beberapa kegiatan demonstrasi menentang peperangan di Vietanam. Ini juga menandai awal dari peningkatan kepekaan terhadap ketidak adilan sosial secara umum. Seperti orang-orang muda pada zamannya, Martha dengan giat mendukung suatu kurikulum yang memfokuskan pada siswa yang memahami ketidakadilan ini dan mengidentifikasi sumber-sumber daya yang dapat menghilangkan ketidakadilan itu dari masyarakat. Ia sangat merasakan pentingnya mendorong siswa mempelajari mengenai permasalahan-permasalahan sosial dan juga menemukan apa yang dapat mereka lakukan untuk permasalahan-permasalahan soial tersebut.
            Bagi Martha untuk mencapai tujuan-tujuannya sebagai seorang guru, ia seringkali harus menangani isu-isu kontrofersial, isu yang banyak di hindari rekan-rekannya di kelas. Ia mersa bahwa para siswa tidak akan belajar bagaimana menangani permasalahan atau kontrofersi jika ia menghindari permasalahan dan kontrofersi tersebut.[3]

Potret guru menurut perenialisme
       Tugas utama dalam pendidikan adalah guru-guru di dalam tugas pendidikanlah yang memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Faktor keberhasilan anak dalam akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan.[4] Berikut pandangan aliran perenialisme mengenai guru atau pendidikan:
1.      Guru mempunyai peranan dominan dalam menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar di kelas.
2.      Guru hendaknya orang yang menguasai suatu cabang ilmu, seorang guru ahli (a master teacher) bertugas membimbing diskusi yang akan memudahkan sisiwa menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang tepat, dan wataknya tanpa cela.
3.      Guru di pandang sebagai orang yang memiliki otoritas dalam suatu bidang pengetahuan dan kehliannya tidak diragukan.

Potret guru menurut essensialisme
            Pak Samuel guru matematika di suatu SMP, di suatu blok miskin di daerah kota. Sebelum datang ke sekolah itu, 6 tahun yang lalu ia mengajar di sekolah di daerah pedesaan. Ia terkenal di lingkungan sekolahnya di nilai sebagai guru pekerja keras dan dedikasi. Komitmennya para anak-anak secara khusus nampak ketika ia berbicara mengenai mempersiapkan anak-anaknya untuk kehidupan di SMU dan di luar sekolah.
            Pak Samuael di sekolahnya telah di kenal tidak menyetujui metode-metode yang digunakan oleh sebagian guru yang lebih mudah dan lebi berorientasi humanistik. Misalnya, ia secara terbuka dan kritis (pada rapat guru) terhadap kecenderungan sebagai guru yang membiarkan para siswa melakukan hal sendiri dan menghabiskan waktu mengungkapkan perasaan mereka.
            Para siswa telah menerima pendekatan pak Samuel pada pengajaran tanpa omong kosong. Dengan beerapa perkecualian, kelasnya secara tertib, berjalan seperti rutinitas setandar. Para siswa memasuki ruangan dengan tenang dan duduk dengan sedikit sekali tindakan bodoh dan main-main yang menandai awal dari banyak kelas lainnya di sekolah. Seperti halnya aturan bisnis pertama, pekerjaan rumah sebelumnya dikembalikan dan di bahas. Selanjutnya, pak Samuel mempresentasikan pelajara hari itu, biasanya penjelasan berlagsung selama 15-20 menit, tentang bagaimana memecahkan suatu jenis persoalan matematika tertentu.Selama pengajaran dalam kelompok besar, pak Samuel juga banyak menggunakan papan tulis, transparansi over head, dan beragam alat manipilatif seperti, sempoa besar dan balok-balok berwarna yang memiliki bentuk dan ukauran yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Barnadib Imam, Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode, Yogyakarta. 1987
Uyoh Sa’dullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung : alfabeta, 2003
Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, Jakarta: PT Radja Grafindo Persada






[1] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode, hlm. 29
[2] Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, hlm. 147
[3] Uyoh Sa’dullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, hlm. 172
[4] Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, hlm. 164