FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI KEPRIBADIAN
Secara garis
besar ada dua faktor utama yang mempengaruhi perkembangan kepribadian, yaitu
faktor hereditas (genetika) dan
faktor lingkungan (environment).
1. Faktor
Genetika (Pembawaan)
Pada masa konsepsi, seluruh bawaan hereditas individu
dibentuk dari 23 kromosom dari ibu, dan 23 kromosom dari ayah. Dalam 46
kromosom tersebut terdapat beribu-ribu gen yang mengandung sifat fisik dan
psikis individu atau yang menentukan potensi-potensi hereditasnya. Dalam hal
ini, tidak ada seorang pun yang mampu menambah atau mengurangi potensi
hereditas tersebut.
Dalam kaitan ini Cattel dkk.,
mengemukakan bahwa “kemampuan belajar dan penyesuaian diri individu dibatasi
oleh sifat-sifat yang inheren dalam organisme individu itu sendiri”. Misalnya
kapasitas fisik (perawakan, energy, kekuatan, dan kemenarikannya), dan
kapasitas intelektual (cerdas, normal, atau terbelakang). Meskipun begitu
batas-batas perkembangan kepribadian, bagaimanapun lebih besar dipengaruhi oleh
faktor lingkungan. Contohnya: seorang anak laki-laki yang tubuhnya kurus,
mungkin akan mengembangkan “self concept”
yang tidak nyaman, jika dia
berkembang dalam kehidupan sosial yang sangat menghargai nilai-nilai
keberhasilan atletik, dan merendahkan keberhasilan dalam bidang lain yang
diperolehnya. Sama halnya dengan wanita yang wajahnya kurang baik, dia akan
merasa rendah diri apabila berada dalam lingkungan yang sangat menghargai
wanita dari segi kecantikan fisiknya.
Ilustrasi
diatas menunjukkan, bahwa hereditas sangat mempengaruhi “konsep diri” individu
sebagai dasar sebagai individualitasnya, sehingga tidak ada orang yang
mempunyai pola-pola kepribadian yang sama, meskipun kembar identik.
Untuk mengetahui bagaimana pengaruh hereditas terhadap
kepribadian, telah banyak para ahli yang melakukan penelitian dengan
menggunakan metode-metode tertentu. Dalam kaitan ini, Pervin (1970)
mengemukakan penelitian-penelitian tersebut.
a. Metode
Sejarah (Riwayat) Keluarga
Galton (1870) telah mencoba meneliti kegeniusan yang
dikaitkan dengan sejarah keluarga. Temuan penelitiannya manunjukkan bahwa
kegeniusan itu berkaitan erat dengan keluarga. Temuan ini bukti yang mendukung
teori hereditas tentang kegeniusan individu.
b. Metode
Selektivitas Keturunan
Tryon (1940) menggunakan pendekatan
ini dengan memilih tikus-tikus yang pintar, cerdas “bright”, dengan yang bodoh “dull”.
Ketika tikus-tikus dari kedua kelompok tersebut dikawinkan, ternyata
keturunannya mempunyai tingkat kecerdasan yang berdistribusi normal.
c. Penelitian
terhadap Anak Kembar
Newman,
Freeman, dan Halzinger (1937) telah meneliti kontribusi hereditas yang sama
terhadap tinggi dan berat badan, kecerdasan dan kepribadian. Mereka menempatkan
19 pasangan kembar identik dalam pemeliharaan yang terpisah, 50 pasangan kembar
identik dalam pemeliharaan yang sama, dan 50 pasangan kembar “fraternal” dalam pemeliharaan yang sama
juga. Hasilnya menunjukkan bahwa kembar identik yang dipelihara terpisah
memiliki kesamaan satu sama lainnya dalam tinggi dan berat badan, serta
kecerdasannya. Demikian juga kembar identik yang dipelihara bersama-sama,
ternyata lebih mempunyai kesamaan dari pada kembar “faternal”
d. Keragaman
Konstitusi (Postur) Tubuh
Hippocrates menyakini bahwa temperamen manusia dapat
dijelaskan bardasarkan cairan-cairan tubuhnya. Kretsvhmer telah
mengklasifikasikan postur tubuh individu pada tiga tipe utama, dan satu tipe
campuran. Pengklasifikasian ini didasarkan pada penelitiannya terhadap 260
orang yang dirawatnya.
2. Faktor
Lingkungan
Faktor lingkungan yang
mempengaruhi kepribadian diantaranya keluarga, kebudayaan, dan sekolah.
a. Keluarga
Keluarga dipandang sebagai penentu utama dalam
pembentukan kepribadian anak. Alasannya adalah (1) keluarga merupakan kelompok
sosial pertama yang menjadi pusat identifikasi anak, (2) anak banyak
menghabiskan waktunya di lingkungan keluarga, dan (3) para anggota keluarga
merupakan “significant people” bagi
pembentukan kepribadian anak.
Baldwin dkk. (1945), telah melakukan penelitian
tentang pengaruh pola asuh orang tua terhadap kepribadian anak. Pola asuh orang
tua itu ternyata ada yang demokratis dan juga authoritarian. Orang tua yang
demokratis ditandai dengan prilaku (1) menciptakan iklim kebebasan, (2)
bersikap respek terhadap anak, (3) objektif, dan (4) mengambil keputusan secara
rasional.
Anak yang dikembangkan dalam iklim demokratis
cenderung memiliki cirri-ciri kepribadian: labih aktif, lebih bersikap sosial,
lebih memiliki harga diri, dan lebih konstruktif dibandingkan dengan anak yang
dikembangkan dalam iklim authoritarian.
b. Kebudayaan
Kluckhohn berpendapat bahwa kebudayaan meregulasi
(mengatur) kehidupan kita dari mulai lahir sampai mati, baik disadari maupun
tidak disadari. Kebudayaan mempengaruhi kita untuk mengikuti pola-pola perilaku
tertentu yang telah dibuat orang lain untuk kita.
Sehubungan dengan pentingnya kebudayaan sebagai faktor penentu kepribadian,
muncul pertanyaan: Bagaimana tipe dasar kepribadian masyarakat itu terjadi?
Dalam hal ini Linton (1945) mengemukakan tiga prinsip untuk menjawab pertanyaan
tersebut. Tiga prinsip tersebut adalah (1) pengalaman kehidupan dalam awal
keluarga, (2) pola asuh orang tua terhadap anak, dan (3) pengalaman awal
kehidupan anak dalam masyarakat.
c. Sekolah
Lingkungan sekolah dapat mempengaruhi kepribadian
anak. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi di antaranya sebagai berikut:
1)
Iklim emosional kelas.
2) Sikap
dan prilaku guru.
3) Disiplin.
4) Prestasi
belajar.
5) Penerimaan
teman sebaya. [1]
Dari penjelasan di atas, ada juga
faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian seseorang, yaitu faktor internal
dan eksternal.
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam
diri orang itu sendiri. Faktor internal ini biasanya merupakan faktor genetis
atau bawaan. Faktor genetis maksudnya adalah faktor yang berupa bawaan sejak
lahir dan merupakan pengaruh keturunan dari salah satu sifat yang dimiliki oleh
salah satu dari kedua orang tuanya atau bisa jadi gabungan atau kombinasi dari
sifat kedua orang tuanya. Oleh karena itu, sering kita mendengar istilah “ buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya”.
Misalnya, sifat mudah marah yang dimiliki oleh sang ayah bukan tidak
mungkin akan menurun pula pada anaknya.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar
orang tersebut. Faktor eksternal ini biasanya merupakan pengaruh yang berasal
dari lingkungan seseorang mulai dari lingkungan terkecilnya, yakni keluarga,
teman tetangga, sampai dengan pengaruh dari barbagai madia audiovisual seperti
TV, VCD dan internet, atau media cetak seperti koran, majalah dan lain
sebagainya.
Lingkungan keluarga, tempat seorang anak tumbuh dan
berkembang akan sangat berpengaruh terhadap kepribadian seorang anak. Terutama
dari cara orang tua mendidik dan membesarkan anaknya. Sejak lama peran sebagai
orang tua sering kali tidak dibarengi oleh pemahaman mendalam tentang
kepribadian. Akibatnya, mayoritas orang tua hanya bisa mencari kambing hitam
–bahwa si anaklah yang tidak beres- ketika terjadi hal-hal negatif mengenai
prilaku keseharian anaknya.seorang anak yang memiliki prilaku demikian
sesungguhnya meniru cara berpikir dan perbuatan yang sengaja atau tidak sengaja
yang dilakukan oleh orang tua mereka. Contoh orang tua sering memerintahkan
anaknya, “ tolong nanti kalau ada
telepon, bilang ayah dan ibu sedang tidak ada dirumah, karena ayah dan ibu akan
tidur “. Peristiwa ini adalah suatu pendidikan kepada anak bahwa berbohong
boleh atau halal dilakukan. Akibatnya anak juga melakukan prilaku bohong kepada
orang lain termasuk pada orang tua yang mencontohinya. Jika perbuatan bohong
yang dilakukan anak memperoleh kepuasan atau kenikmatan, minimal tidak
memperoleh hukuman, maka perbuatan bohong itu akan dikembangkan lebih lanjut
oleh anak tersebut. Bahkan mungkin saja
daya bohong itu akan menjadi suatu kesenangan dan dapat juga menjadi suatu
keahlian yang lama-kelamaan menjadi kepribadiannya. Demikian juga prilaku
positif dan negatif lain yang terperaktikkan di lingkungan rumah.
Menurut Levine (2005) menjadi orang tua sesungguhnya
merupakan proses yang dinamis. Situasi keluarga acap kali berubah. Tidak ada
yang bersifat mekanis dalam proses tersebut. Akan tetapi, dengan memahami bahwa
kepribadian mengaktifkan energy, mengembangkan langkah demi langkah, serta
menyadari semua implikasi setiap langkah terhadap diri anak, para orang tua
secara perlahan akan mampu menumpuk rasa percaya diri pada diri anak.
Selanjutnya, Levine (2005) menegaskan bahwa
kepribadian orang tua akan berpengaruh terhadap caraorang tua tersebut dalam
mendidik dan membesarkan anaknya yang pada gilirannya juga berpengaruh pada
kepribadian si anak tersebut. Ada Sembilan tipe kepribadian orang tua dalam
membesarkan anaknya yang juga dapat berpengaruh pada kepribadian si anak, yaitu
sebagai berikut :
a. Penasihat
moral, terlalu menekankan pada perincian, analisis dan moral.
b. Penolong,
terlalu mengutamakan kebutuhan anak dengan mengabaikan akibat dari tindakan si
anak.
c. Pengatur,
selalu ingin bekerja sama dengan si anak dan menciptakan tugas-tugas yang akan
membantu memperbaiki keaadan.
d. Pemimipin,
selalu berupaya untuk selalu berhubungan secara emosional dengan anak-anak
dalam setiap keadaan dan mencari solusi kreatif bersama-sama.
e. Pengamat,
selalu mencari sudut pandang yang menyeluruh, berupaya mengutamakan
objektifitas dan perspektif.
f. Pencemas,
selalu melakukan tanya jawab mental dan terus bertanya-tanya , ragu-ragu dan
memiliki gambaran terburuk bahkan meraka sampai yakin bahwa anak merka
benar-benar memahami situasi.
g. Penghibur, selalu menerapakan gaya yang selalu
santai.
h. Pelindung,
cenderung untuk mengambil alih tanggung jwab dan bersikap melindungi, berteriak
pada si anak akan tetapi kemudian melindunginnya dari ancaman yang datang.
i. Pendamai,
dipengaruhi kepribadian mereka yanag selalu menghindar dari konflik.
Berdasarkan Sembilan kepribadian orang tua dalam
mendidik anakanya secara moralitas, maka tampaknya tiga tipe yang sejalan dalam
pembentukan kepribadian melalui peningkatan pertimbangan moral, yaitu tipe
pengatur, pengamat dan pencemas. Pembentukan kepribadian melalui peningkatan
pertimbangan moral menghendaki orang tua di lingkungan rumah tangga bertindak
sebagai teman yang dapat bakerja sama dengan anak-anak mereka dalam
menyelesaikan segala tugas guna memperbaiki keadaan sosial maupun fisik.
Kepribadian orang tua sebagai pengamat yang menggunakan sudut pandang
menyeluruh dan objektif akan membantu cara berpikir moral anak kearah yang
luas, objektif, dan menyeluruh. Demikian juga, kepribadian orang tua tipe
pencemas yang selalu membawa anak untuk berdiskusi, bertanya jawab, dan
mengajak berpikir dalam menghadapi tantangandan konflik adalah sejalan dengan
teori perkembangan moral kognitif dalam peningkatan perkembangan moral guna
pembentukan kepribadian yang baik bagi anak-anak. [2]
Dari beberapa uraian di atas muncul tiga aliran utama
yang saling bertentangan mengenai fenomena tentang faktor kepribadian,[3] yaitu
:
1. Aliran Nativisme
Aliran ini dipelopori oleh
Schoupenhouer yang berpendapat bahwa faktor pembawaan itu lebih kuat dari pada
faktor yang datang dari luar. Aliran ini didukung oleh aliran Naturalisme yang
ditokohi oleh J.J. Rousseau yang berpendapat bahwa: segala yang suci dari
tangan tuhan, rusak di tangan manusia. Anak manusia itu sejak lahir, ada di
dalam keadaan yang suci, tetapi karena dididik oleh manusia, malah menjadi
rusak. Ia bahkan kenal dengan segala macam kejahatan, penyelewengan, korupsi,
mencuri, dan sebagainya.
2. Aliran Empirisme
Aliran ini dipelopori oleh jhon
locke, dengan tabula rasanya. Aliran Empieisme berpendapat bahwa anak sejak
lahir, masih bersih seperti tabula rasa, dan baru akan berisi bila ia menerima
sesuatu dari luar, lewat alat inderanya. Karena itu pengaruh dari luarlah yang
lebih kuat daripada pembawaan manusia.
Aliran ini diperkuat oleh J.F.
Herbart dengan teori psikologi asosiasinya, yang berpendapat bahwa jiwa manusia
sejak dilahirkan itu masih kosong. Baru akan berisi apabila alat indranya telah
dapat menangkap sesuatu, yaitu jiwa. Di dalam kesadaran ini, hasil tangkapan
itu tadi meninggalkan bekas. Bekas ini disebut tanggapan. Makin lama alat
indera yang dapat menangkap rangsangan dari luar ini makin banyak dan semuanya
itu meninggalkan tanggapan. Di dalam tanggapan ini saling tarik menarik dan tolak
menolak. Yang bertarik menarik adalah tanggapan yang sejenis, sedangakan tolak
menolak adalah tanggapan yang tidak sejenis.
3. Aliran Convergensi
Aliran ini dipelopori oleh itu W.
Stern, mengajukan teorinya, yang terkenal dengan teori perpaduan, atau teori
convergensi, yang berpendapat bahwa kekuatan itu sebenarnya berpadu menjadi
satu. Keduanya saling memberikan pengaruh. Bakat yang ada pada anak, ada
kemungkinan tidak akan berkembang kalau tidak dipengaruhi oleh segala sesuatu
yang ada disekitar lingkunganya. Demikian pula pengaruh dari lingkungan juga
tidak akan berfaedah apabila tidak ada yang menanggapi di dalam jiwa manusia.
Kesimpulan
Dari uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang memepengaruhi
kepribadian yaitu faktor hereditas atau genetika yang meliputi unsur fisik yang
diturunkan oleh orang tua seperti bentuk tubuh, cairan tubuh, dan sifat-sifat
yang diturunkan dari orang tua. Selanjutnya faktor lingkungan yaitu antara lain
lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat. Di samping itu, meski kepribadian
seseorang itu relatif konstan, kenyataannya sering ditemukan perubahan
kepribadian. Perubahan itu terjadi dipengaruhi oleh faktor gangguan fisik dan
lingkungan.
Dalam
menyikapi faktor-faktor tersebut muncul tiga aliran utama mengenai faktor
kepribadian yaitu aliran Nativisme yang dipelopori oleh
Schoupenhouer yang mengungkapkan bahwa faktor pembawaan itu lebih kuat dari
faktor yang datang dari luar, kemudian aliran Empirisme yang
dikemukakan oleh John Locke yang berpendapat bahwa faktor dari luar itu lebih
kuat karena manusia dilahirkan itu diandaikan seperti tabula rasa yang masih
kosong dan akan terisi bila manusia menerima sesuatu dari luar, berbeda dengan
keduanya, W. Stern mengemukakan teori Convergensi atau teori perpaduan
yaitu faktor pembawaan tidak akan berkembang jika tidak dipengaruhi oleh faktor
dari luar, begitu sebaliknya faktor dari lingkungan tidak akan dapat
berpengaruh apabila tidak ada yang menanggapi dari dalam jiwa manusia.
DAFTAR PUSTAKA
W. Sarwono,
Sarlito, Pengantar psikologi Umum, Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2010.
Samsyu,
Yusuf dan Juntika Nurihsan, Teori
Kepriadian, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008.
Wikipedia
Bahasa Indonesia.