Rabu, 16 September 2015

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPRIBADIAN

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPRIBADIAN

Secara garis besar ada dua faktor utama yang mempengaruhi perkembangan kepribadian, yaitu faktor hereditas (genetika) dan faktor lingkungan (environment).
1.  Faktor Genetika (Pembawaan)
Pada masa konsepsi, seluruh bawaan hereditas individu dibentuk dari 23 kromosom dari ibu, dan 23 kromosom dari ayah. Dalam 46 kromosom tersebut terdapat beribu-ribu gen yang mengandung sifat fisik dan psikis individu atau yang menentukan potensi-potensi hereditasnya. Dalam hal ini, tidak ada seorang pun yang mampu menambah atau mengurangi potensi hereditas tersebut.
       Dalam kaitan ini Cattel dkk., mengemukakan bahwa “kemampuan belajar dan penyesuaian diri individu dibatasi oleh sifat-sifat yang inheren dalam organisme individu itu sendiri”. Misalnya kapasitas fisik (perawakan, energy, kekuatan, dan kemenarikannya), dan kapasitas intelektual (cerdas, normal, atau terbelakang). Meskipun begitu batas-batas perkembangan kepribadian, bagaimanapun lebih besar dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Contohnya: seorang anak laki-laki yang tubuhnya kurus, mungkin akan mengembangkan “self concept”  yang tidak nyaman, jika dia berkembang dalam kehidupan sosial yang sangat menghargai nilai-nilai keberhasilan atletik, dan merendahkan keberhasilan dalam bidang lain yang diperolehnya. Sama halnya dengan wanita yang wajahnya kurang baik, dia akan merasa rendah diri apabila berada dalam lingkungan yang sangat menghargai wanita dari segi kecantikan fisiknya.
                   Ilustrasi diatas menunjukkan, bahwa hereditas sangat mempengaruhi “konsep diri” individu sebagai dasar sebagai individualitasnya, sehingga tidak ada orang yang mempunyai pola-pola kepribadian yang sama, meskipun kembar identik.
Untuk mengetahui bagaimana pengaruh hereditas terhadap kepribadian, telah banyak para ahli yang melakukan penelitian dengan menggunakan metode-metode tertentu. Dalam kaitan ini, Pervin (1970) mengemukakan penelitian-penelitian tersebut.
a.  Metode Sejarah (Riwayat) Keluarga
Galton (1870) telah mencoba meneliti kegeniusan yang dikaitkan dengan sejarah keluarga. Temuan penelitiannya manunjukkan bahwa kegeniusan itu berkaitan erat dengan keluarga. Temuan ini bukti yang mendukung teori hereditas tentang kegeniusan individu.
b.  Metode Selektivitas Keturunan
Tryon (1940) menggunakan pendekatan ini dengan memilih tikus-tikus yang pintar, cerdas “bright”, dengan yang bodoh “dull”. Ketika tikus-tikus dari kedua kelompok tersebut dikawinkan, ternyata keturunannya mempunyai tingkat kecerdasan yang berdistribusi normal.
c.  Penelitian terhadap Anak Kembar
       Newman, Freeman, dan Halzinger (1937) telah meneliti kontribusi hereditas yang sama terhadap tinggi dan berat badan, kecerdasan dan kepribadian. Mereka menempatkan 19 pasangan kembar identik dalam pemeliharaan yang terpisah, 50 pasangan kembar identik dalam pemeliharaan yang sama, dan 50 pasangan kembar “fraternal” dalam pemeliharaan yang sama juga. Hasilnya menunjukkan bahwa kembar identik yang dipelihara terpisah memiliki kesamaan satu sama lainnya dalam tinggi dan berat badan, serta kecerdasannya. Demikian juga kembar identik yang dipelihara bersama-sama, ternyata lebih mempunyai kesamaan dari pada kembar “faternal”
d.  Keragaman Konstitusi (Postur) Tubuh
Hippocrates menyakini bahwa temperamen manusia dapat dijelaskan bardasarkan cairan-cairan tubuhnya. Kretsvhmer telah mengklasifikasikan postur tubuh individu pada tiga tipe utama, dan satu tipe campuran. Pengklasifikasian ini didasarkan pada penelitiannya terhadap 260 orang yang dirawatnya.
2.   Faktor Lingkungan
      Faktor lingkungan yang mempengaruhi kepribadian diantaranya keluarga,   kebudayaan, dan sekolah.
    
a.  Keluarga
Keluarga dipandang sebagai penentu utama dalam pembentukan kepribadian anak. Alasannya adalah (1) keluarga merupakan kelompok sosial pertama yang menjadi pusat identifikasi anak, (2) anak banyak menghabiskan waktunya di lingkungan keluarga, dan (3) para anggota keluarga merupakan “significant people” bagi pembentukan kepribadian anak.
Baldwin dkk. (1945), telah melakukan penelitian tentang pengaruh pola asuh orang tua terhadap kepribadian anak. Pola asuh orang tua itu ternyata ada yang demokratis dan juga authoritarian. Orang tua yang demokratis ditandai dengan prilaku (1) menciptakan iklim kebebasan, (2) bersikap respek terhadap anak, (3) objektif, dan (4) mengambil keputusan secara rasional.
Anak yang dikembangkan dalam iklim demokratis cenderung memiliki cirri-ciri kepribadian: labih aktif, lebih bersikap sosial, lebih memiliki harga diri, dan lebih konstruktif dibandingkan dengan anak yang dikembangkan dalam iklim authoritarian.

b. Kebudayaan
Kluckhohn berpendapat bahwa kebudayaan meregulasi (mengatur) kehidupan kita dari mulai lahir sampai mati, baik disadari maupun tidak disadari. Kebudayaan mempengaruhi kita untuk mengikuti pola-pola perilaku tertentu yang telah dibuat orang lain untuk kita.
Sehubungan dengan pentingnya kebudayaan sebagai faktor penentu kepribadian, muncul pertanyaan: Bagaimana tipe dasar kepribadian masyarakat itu terjadi? Dalam hal ini Linton (1945) mengemukakan tiga prinsip untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tiga prinsip tersebut adalah (1) pengalaman kehidupan dalam awal keluarga, (2) pola asuh orang tua terhadap anak, dan (3) pengalaman awal kehidupan anak dalam masyarakat.

c.  Sekolah
Lingkungan sekolah dapat mempengaruhi kepribadian anak. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi di antaranya sebagai berikut:
1)  Iklim emosional kelas.
2)  Sikap dan prilaku guru.
3)  Disiplin.
4)  Prestasi belajar.
5)  Penerimaan teman sebaya. [1]

       Dari penjelasan di atas, ada juga faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian seseorang, yaitu faktor internal dan eksternal.
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri orang itu sendiri. Faktor internal ini biasanya merupakan faktor genetis atau bawaan. Faktor genetis maksudnya adalah faktor yang berupa bawaan sejak lahir dan merupakan pengaruh keturunan dari salah satu sifat yang dimiliki oleh salah satu dari kedua orang tuanya atau bisa jadi gabungan atau kombinasi dari sifat kedua orang tuanya. Oleh karena itu, sering kita mendengar istilah “ buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya”. Misalnya, sifat mudah marah yang dimiliki oleh sang ayah bukan tidak mungkin akan menurun pula pada anaknya.

2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar orang tersebut. Faktor eksternal ini biasanya merupakan pengaruh yang berasal dari lingkungan seseorang mulai dari lingkungan terkecilnya, yakni keluarga, teman tetangga, sampai dengan pengaruh dari barbagai madia audiovisual seperti TV, VCD dan internet, atau media cetak seperti koran, majalah dan lain sebagainya.
Lingkungan keluarga, tempat seorang anak tumbuh dan berkembang akan sangat berpengaruh terhadap kepribadian seorang anak. Terutama dari cara orang tua mendidik dan membesarkan anaknya. Sejak lama peran sebagai orang tua sering kali tidak dibarengi oleh pemahaman mendalam tentang kepribadian. Akibatnya, mayoritas orang tua hanya bisa mencari kambing hitam –bahwa si anaklah yang tidak beres- ketika terjadi hal-hal negatif mengenai prilaku keseharian anaknya.seorang anak yang memiliki prilaku demikian sesungguhnya meniru cara berpikir dan perbuatan yang sengaja atau tidak sengaja yang dilakukan oleh orang tua mereka. Contoh orang tua sering memerintahkan anaknya, “ tolong nanti kalau ada telepon, bilang ayah dan ibu sedang tidak ada dirumah, karena ayah dan ibu akan tidur “. Peristiwa ini adalah suatu pendidikan kepada anak bahwa berbohong boleh atau halal dilakukan. Akibatnya anak juga melakukan prilaku bohong kepada orang lain termasuk pada orang tua yang mencontohinya. Jika perbuatan bohong yang dilakukan anak memperoleh kepuasan atau kenikmatan, minimal tidak memperoleh hukuman, maka perbuatan bohong itu akan dikembangkan lebih lanjut oleh anak tersebut.  Bahkan mungkin saja daya bohong itu akan menjadi suatu kesenangan dan dapat juga menjadi suatu keahlian yang lama-kelamaan menjadi kepribadiannya. Demikian juga prilaku positif dan negatif lain yang terperaktikkan di lingkungan rumah.
Menurut Levine (2005) menjadi orang tua sesungguhnya merupakan proses yang dinamis. Situasi keluarga acap kali berubah. Tidak ada yang bersifat mekanis dalam proses tersebut. Akan tetapi, dengan memahami bahwa kepribadian mengaktifkan energy, mengembangkan langkah demi langkah, serta menyadari semua implikasi setiap langkah terhadap diri anak, para orang tua secara perlahan akan mampu menumpuk rasa percaya diri pada diri anak.
Selanjutnya, Levine (2005) menegaskan bahwa kepribadian orang tua akan berpengaruh terhadap caraorang tua tersebut dalam mendidik dan membesarkan anaknya yang pada gilirannya juga berpengaruh pada kepribadian si anak tersebut. Ada Sembilan tipe kepribadian orang tua dalam membesarkan anaknya yang juga dapat berpengaruh pada kepribadian si anak, yaitu sebagai berikut :

a.  Penasihat moral, terlalu menekankan pada perincian, analisis dan moral.
b. Penolong, terlalu mengutamakan kebutuhan anak dengan mengabaikan akibat dari tindakan si anak.
c.  Pengatur, selalu ingin bekerja sama dengan si anak dan menciptakan tugas-tugas yang akan membantu memperbaiki keaadan.
d. Pemimipin, selalu berupaya untuk selalu berhubungan secara emosional dengan anak-anak dalam setiap keadaan dan mencari solusi kreatif bersama-sama.
e. Pengamat, selalu mencari sudut pandang yang menyeluruh, berupaya mengutamakan objektifitas dan perspektif.
f.  Pencemas, selalu melakukan tanya jawab mental dan terus bertanya-tanya , ragu-ragu dan memiliki gambaran terburuk bahkan meraka sampai yakin bahwa anak merka benar-benar memahami situasi.
g. Penghibur, selalu menerapakan gaya yang selalu santai.
h. Pelindung, cenderung untuk mengambil alih tanggung jwab dan bersikap melindungi, berteriak pada si anak akan tetapi kemudian melindunginnya dari ancaman yang datang.
i.  Pendamai, dipengaruhi kepribadian mereka yanag selalu menghindar dari konflik.

Berdasarkan Sembilan kepribadian orang tua dalam mendidik anakanya secara moralitas, maka tampaknya tiga tipe yang sejalan dalam pembentukan kepribadian melalui peningkatan pertimbangan moral, yaitu tipe pengatur, pengamat dan pencemas. Pembentukan kepribadian melalui peningkatan pertimbangan moral menghendaki orang tua di lingkungan rumah tangga bertindak sebagai teman yang dapat bakerja sama dengan anak-anak mereka dalam menyelesaikan segala tugas guna memperbaiki keadaan sosial maupun fisik. Kepribadian orang tua sebagai pengamat yang menggunakan sudut pandang menyeluruh dan objektif akan membantu cara berpikir moral anak kearah yang luas, objektif, dan menyeluruh. Demikian juga, kepribadian orang tua tipe pencemas yang selalu membawa anak untuk berdiskusi, bertanya jawab, dan mengajak berpikir dalam menghadapi tantangandan konflik adalah sejalan dengan teori perkembangan moral kognitif dalam peningkatan perkembangan moral guna pembentukan kepribadian yang baik bagi anak-anak. [2]

Dari beberapa uraian di atas muncul tiga aliran utama yang saling bertentangan mengenai fenomena tentang faktor kepribadian,[3] yaitu :
1. Aliran Nativisme
Aliran ini dipelopori oleh Schoupenhouer yang berpendapat bahwa faktor pembawaan itu lebih kuat dari pada faktor yang datang dari luar. Aliran ini didukung oleh aliran Naturalisme yang ditokohi oleh J.J. Rousseau yang berpendapat bahwa: segala yang suci dari tangan tuhan, rusak di tangan manusia. Anak manusia itu sejak lahir, ada di dalam keadaan yang suci, tetapi karena dididik oleh manusia, malah menjadi rusak. Ia bahkan kenal dengan segala macam kejahatan, penyelewengan, korupsi, mencuri, dan sebagainya.
2.  Aliran Empirisme
Aliran ini dipelopori oleh jhon locke, dengan tabula rasanya. Aliran Empieisme berpendapat bahwa anak sejak lahir, masih bersih seperti tabula rasa, dan baru akan berisi bila ia menerima sesuatu dari luar, lewat alat inderanya. Karena itu pengaruh dari luarlah yang lebih kuat daripada pembawaan manusia.
Aliran ini diperkuat oleh J.F. Herbart dengan teori psikologi asosiasinya, yang berpendapat bahwa jiwa manusia sejak dilahirkan itu masih kosong. Baru akan berisi apabila alat indranya telah dapat menangkap sesuatu, yaitu jiwa. Di dalam kesadaran ini, hasil tangkapan itu tadi meninggalkan bekas. Bekas ini disebut tanggapan. Makin lama alat indera yang dapat menangkap rangsangan dari luar ini makin banyak dan semuanya itu meninggalkan tanggapan. Di dalam tanggapan ini saling tarik menarik dan tolak menolak. Yang bertarik menarik adalah tanggapan yang sejenis, sedangakan tolak menolak adalah tanggapan yang tidak sejenis.  
3.  Aliran Convergensi
Aliran ini dipelopori oleh itu W. Stern, mengajukan teorinya, yang terkenal dengan teori perpaduan, atau teori convergensi, yang berpendapat bahwa kekuatan itu sebenarnya berpadu menjadi satu. Keduanya saling memberikan pengaruh. Bakat yang ada pada anak, ada kemungkinan tidak akan berkembang kalau tidak dipengaruhi oleh segala sesuatu yang ada disekitar lingkunganya. Demikian pula pengaruh dari lingkungan juga tidak akan berfaedah apabila tidak ada yang menanggapi di dalam jiwa manusia.











Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang memepengaruhi kepribadian yaitu faktor hereditas atau genetika yang meliputi unsur fisik yang diturunkan oleh orang tua seperti bentuk tubuh, cairan tubuh, dan sifat-sifat yang diturunkan dari orang tua. Selanjutnya faktor lingkungan yaitu antara lain lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat. Di samping itu, meski kepribadian seseorang itu relatif konstan, kenyataannya sering ditemukan perubahan kepribadian. Perubahan itu terjadi dipengaruhi oleh faktor gangguan fisik dan lingkungan.
Dalam menyikapi faktor-faktor tersebut muncul tiga aliran utama mengenai faktor kepribadian yaitu aliran Nativisme yang dipelopori oleh Schoupenhouer yang mengungkapkan bahwa faktor pembawaan itu lebih kuat dari faktor yang datang dari luar, kemudian aliran Empirisme yang dikemukakan oleh John Locke yang berpendapat bahwa faktor dari luar itu lebih kuat karena manusia dilahirkan itu diandaikan seperti tabula rasa yang masih kosong dan akan terisi bila manusia menerima sesuatu dari luar, berbeda dengan keduanya, W. Stern mengemukakan teori Convergensi atau teori perpaduan yaitu faktor pembawaan tidak akan berkembang jika tidak dipengaruhi oleh faktor dari luar, begitu sebaliknya faktor dari lingkungan tidak akan dapat berpengaruh apabila tidak ada yang menanggapi dari dalam jiwa manusia.

DAFTAR PUSTAKA



W. Sarwono, Sarlito, Pengantar psikologi Umum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010.
Samsyu, Yusuf dan Juntika Nurihsan, Teori Kepriadian, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008.
Wikipedia Bahasa Indonesia.




[1] Yusuf, syamsu, (2008), teori Kepribadian, Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal: 27
[2]  Sjarkawi, (2006), Pembentukan Kepribadian Anak, Jakarta: Bumi Aksara. Hal: 19
[3]  Wikipedia Bahasa Indonesia, diakses pada Selasa, 13 Desember 2011

Sabtu, 05 September 2015

PROGRAM PENDIDIKAN ISLAM DI MUSHOLLA ASY-SYIFA

PROGRAM PENDIDIKAN ISLAM DI MUSHOLLA ASY-SYIFA
Syaefudin
Fakultas Tarbiyah
Jurusan Pendidikan Agama Islam (B)

Abstrak

Muholla Asy-Syifa terkenal dengan sistem pembelajaran yang sangat mendukung anak-anak supaya bisa membaca al-Quran dengan baik dan benar, karena di samping mengajarkan makhoorijul huruf dan ilmu tajwid di situ juga menggunakan sisitem pengajaran “mengulang bacaan sampai di pindah oleh gurunya”. Sistem pengajaran yang demikian ternyata sangat efektif dan mendapatkan hasil yang maksimal. Permasalahannya yaitu, Bagaimana program dan sistem pembelajaran yang ada di musholla Asy-Syifa?. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih jauh  tentang program pendidikan yang ada di musholla Asy-Syifa. Program pendidikan di Musholla Asy-Syifa itu memiliki sistem penagajaran yang berbeda dengan Musholla lain yang ada di desa Pengarengan. Ada beberapa yang membedakan musholla Asy-Syifa dengan yang lain, seperti : Pengajaran al-Qur’an, Pengajaran Tajwid, dan Pengajaran marhabanan. 

Kata kunci: Program pendidikan, sisitem pengajaran, guru yang berkompeten, alumni yang bermutu.
A.  Pendahuluan
1.    Latar Belakang Masalah
       Di desa Pengarengan banyak musholla yang mempunyai program pendidikan keagamaan di dalamnya, namun hanya musholla Asy-Syifa lah yang mempunyai program pendidikan berbeda dengan musholla  lainnya. Itu karena musholla Asy-Syifa tidak hanya memberikan bimbingan al-Qur’an saja tapi juga mengajarkan dasar-dasar tentang bacaan sholat wajib kepada anak-anak yang masih kecil. Selain itu juga mengajarkan tentang bagaimana tata cara supaya anak-anak bisa mengaji al-Qur’an dengan baik dan benar yaitu dengan memberikan bimbingan tentang makhoorijul huruf dan ilmu tajwid.
        Muholla Asy-Syifa terkenal dengan sisitem pembelajaran yang sangat mendukung anak-anak supaya bisa membaca al-Qur’an dengan baik dan benar, karena di samping mengajarkan makhoorijul huruf dan ilmu tajwid di situ juga menggunakan sisitem pengajaran “mengulang bacaan sampai di pindah oleh gurunya”. Sistem pengajaran yang demikian ternyata sangat efektif dan mendapatkan hasil yang maksimal. Menurut pengasuh mushollah Asy-Syifa mengatakan bahwa memang sistem seperti ini menghabiskan proses yang cukup lama tapi karena meliahat hasil yang demikian maka sistem ini tetap akan dipertahankan.
        Sampai sekarang musholla Asy-Syifa masih terkenal dengan kualitas pendidikan yang baik, dan masyarakatpun telah mengakuinya. Hal ini tak lain karena program dan sisitemnya yang mendukung serta gurunya yang berkompeten. Dalam hal ini guru sangat berperan sekali untuk melaksanakan jalannya pendidikan yang ada di dalam musholla Asy-Syifa, karena tanpa guru mungkin program pendidikan tersebut tidak bisa bertahan samapai sekarang ini. Di samping berkompeten kesabaran juga sudah tertanam dalam diri guru yang ada di musholla Asy-Syifa sehingga samapai sekarang program yang ada di dalamanya masih tetap eksis dan akhirnya mampu mencetak alumni-alumni yang berkualitas baik. Buktinya mereka mampu mengaji al-Qur’an dengan baik dan benar serta bisa mempraktikan sholat dengan seluruh bacaan-bacaannya. Itulah yang menjadikan nama musholla Asy-Syifa baik di mata masyarakat pengarengan.

2.    Rumusan Masalah
        Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan “ Bagaimana program dan sistem pembelajaran yang ada di musholla Asy-Syifa ?”

3.    Tujuan
        Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih jauh  tentang program pendidikan yang ada di musholla Asy-Syifa.


    
B.  Pembahasan
1.    Program Pendidikan di Musholla Asy-Syifa
          Sebelum saya membahas tentang program pendidikan yang ada di musholla Asy-Syifa, akan lebih enak kalau kita bahas dulu tentang arti dari program dan juga arti dari pendidikan. Dalam kamus ilmiyah  menyebutkan bahwa program adalah rancangan suatu kegiatan, sedangkan kata pendidikan menurut KBBI yaitu proses pengubahan sikap dan tata  laku  seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan  pelatihan. Dengan demikian  kalau  kita gabungkan maka program pendidikan yaitu suatu rancangan kegiatan yang isinya yaitu proses  pengubahan  sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam  usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Armai Arief (2004: 4), Pendidikan Islam yaitu konsep berfikir yang bersifat mendalam dan terperinci tentang masalah kependidikan yang bersumberkan ajaran Islam.
        Program pendidikan ini bertujuan untuk membentuk jiwa-jiwa anak yang religi yang akhirnya nanti bisa membedakan mana yang harus dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Hal ini juga nanti sangat membantu orang tua untuk mengarahkan anaknya kejalan yang sesuai agama. Di usia anak-anak mereka yang mayoritas belum baligh sangat tepat sekali kalau diberikan pelajaran-pelajaran seperti yang ada dalam pendidikan tersebut. Sudah sepantasnya mereke mendapatkan pendidikan yang seperti itu, karena belajar itu tidak ada batasan umur baik untuk memulai ataupun mengakihirinya, sepeti ada hadits yang mengatkan “tuntutlah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat”. Hadits tersebut menunjukan bahwa menuntut ilmu itu tidak ada batasannya.
        Musholla Asy-Syifa yang bertempat di desa Pengarengan Blok Wage sangat memberikan manfa’at dan dampak positif bagi masyarakat sekitar. Karena disampaing setiap harinya berfungsi sebagai tempat shalat, di situ juga berfungsi sebagai wadah untuk mencetak anak-anak yang mampu membaca al-Qur’an serta mampu mempraktekan ibadah-ibadah yang telah diajarkannya, seperti wudlu, shalat dan yang lainnya. Kegiatan pengajian biasa dilaksanakan setelah salat maghrib, namun anak-anak diharuskan berangkat dari rumah sebelum maghrib sebab mereka diwajibkan untuk mengikuti shalat berjama’ah bersama samapai aurod selesai dan baru kemudian melaksanakan pengajian.
        Musholla Asy-Syifa memang sangat berperan sekali dalam hal memberikan pendidikan kepada anak-anak yang ada di sekitarnya. Dan masyarakat blok Wage harus bersyukur dengan hal tersebut, karena masih ada yang mau mendidik anak-anaknya tentang baca al-Quran dan peraktek ibadah. Sehingga kelak anak-anak mereka mampu membaca al-Quran dengan baik dan benar serta mampu beribadah kepada Allah SWT. Dengan menyuruh anak-anaknya belajar di musholla tersebut berarti orang tua sudah menjalankaan salah satu tugasnya sebagai orang tua dalam hal memberikan pendidikan lewat musholla tersebut. Sri Maryati (2007:12), mengatakan bahwa setiap anak hendaknya diberi pendidikan agama yang cukup agar kelak menjadi insan yang bertakwa. Namun banyak sekali orang tua yang sibuk dengan pekerjaannya atau bahkan orang tuanya sendiri tidak mengerti tentang agama, sehingga mereka hanya bisa memberikan pendidikan tentang agama lewat program pendidikan yang ada di musholla.
        Program pendidikan yang ada di musholla Asy-syifa sudah cukup lama berjalan hingga sekarang. Yang paling ditekankan dalam program pendidikan tersebut yaitu tentang tata cara baca al-Quran yang sesuai dengan tajwid dan makhrojnya, supaya ketika anak-anak selesai belajar ngaji di situ mereka mampu membaca al-Quran dengan baik, benar dan tartil. Dalam al-Quran juga disebutkan :
وَرَتِّلِ الْقُرْ انَ تَرْتِيْلًا {المزمل :٤}
Artinya : “Dan bacalah Quran itu dengan tartil (QS. Al-Muzammil : 4)”
Ayat di atas menjelaskan bahwa dalam membaca al-Quran itu harus dengan tartil tidak boleh asal-asalan. Seseorang tidak mungkin bisa membaca Al-Quran dengan baik dan benar kalau tidak mengerti dan faham tentang ilmu tajwid, kita tidak bisa lepas dari tajwid ketika membaca al-Quran. Oleh karena itu di Musholla Asy-Syifa dari dulu sampai sekarang tetap menerapkan pelajaran tajwid untuk anak-anak yang belajar ngaji di situ. Selain mengajarkan tajwid juga di situ sekaligus menerapkan makhrojnya, agar anak-anak mampu membaca al-Quran sesuai dengan makhrojnya. Penerapan yang demikian cukup bagus, karena bertujuan untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
             Beberapa program  yang diterpakan dalam Musholla Asy-Syifa :
1.         Pengajian al-Quran
2.         Pengajian Tajwid
3.         Hafalan-hafalan tentang bacaan sholat dan wudlu
4.         Marhabanan dengan membaca ktab Al-Barzanji
        Kegiatan-kegiata di atas ada yang dilaksanakan setiap hari seperti belajar Al-Qur’an, Tajwid, dan hafalan-hafalan tentang bacaan shalat, dan wudlu. Sedangkan marhabanan itu dilaksanakan setiap minggu sekali yaitu pada malam senin setelah setelah shalat Isya.
          Dari pendapat di atas pada dasarnya saling melengkapi bahwa program pendidikan itu suatu upaya untuk merubah karakter dan mendewasakan seseorang serta dalam segala aspek yang akhirnya menjadi generasi penerus yang bertanggung jawab.

2.    Sistem Pengajaran
          Program pendidikan di Musholla Asy-Syifa itu memiliki sistem penagajaran yang berbeda dengan Musholla lain yang ada di desa Pengarengan. Ada beberapa yang membedakan musholla Asy-Syifa dengan yang lain, seperti:
a.    Pengajaran al-Quran
          Sistem pengajarannya yaitu dengan menggunakan berulang-ulang terus sampai di pindah oleh gurunya. Jadi sebelum anak itu lancar membacanya, anak tersebut terus berulang-ulang membacanya sampai lancar dan sesuai dengan tajwid serta makhrojnya. Sistem seperti ini memang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa khatam sampai 30 Juz. Namun pengasuh Musholla Asy-Syifa tetap mempertahankan sistem ini karena melihat hasilnya yang memuaskan.


b.    Pengajaran Tajwid
          Tajwid ini diajarkan dan sekaligus dipraktekan pada saat anak-anak maju untuk meyetorkan al-Quran. Dengan begitu anak-anak akan lebih mudah untuk menerapkan tajwid dengan al-Quran. Dan nanti pada saat pementasan khataman al-Quran anak-anak secara langsung di suruh membaca al-Quran sesuai keinginan guru dan sekaligus di tanya tentang tajwidnya. Hal yang semacam ini merupakan satu-satunya yang ada di musholla Pengaraengan.
c.    Pengajaran tentang hafalan
     Hafalan ini diajarkan secara bersama-sama dan gurunya langsung yang menyimak. Hafalan ini dilaksanakan setiap hari setelah selesai jama’ah shalat maghrib sebelum mengaji al-Quran. sebenarnya anak-anak ini tidak di beri buku atau tulisan yang nantinya di suruh untuk dihafalkan terlebih dahulu, tapi sebelum hafal awalnya mereka hanya mendengarkan anak-anak  yang sudah hafal dan lama kelamaan mereka hafal. Mayoritas anak-anak yang megikuti hafalan  masih  kecil,  jadi apa yang dihafalkan itu belum mengerti fungsinya untuk apa, Tapi setelah dewasa pasti mereka mengerti fungsinya untuk apa.
d. Pengajaran tentang Marhabanan
     Marhabanan merupakan salah satu rutinitas warga Nahdliyyin yang didalamnya itu dibacakan kitab Al-Barzanji. Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan (2007:116), mengatakan bahwa nama Barzanji dikenal luas sekali. Barzanji adalah sebuah kitab yang berisi sya’ir-sya’ir ungkapan cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Kitab ini biasa dibaca ketika mereka mempunyai hajat, seperti peringatan mauid Nabi, upacara pemberian nama bayi, upacara pernikahan, khitanan, dan lain sebagainya. Acara tersebut biasa dikenal dengan nama barzanjen atau barzanjian. Di Musholla Asy-Syifa ini biasa dilaksanakan setiap malam senin setelah shalat Isya, yang diikuti oleh anak-anak yang mengaji di situ. Namun hanya yang sedikit dewasa. Dan sistem pengajarannya bagi anak-anak yang belum bisa baca yaitu dengan menyuruh mereka untuk membawa kitab barzanji kemudian menyimaknya pada saat ada yang membaca. Yang demikian terus dilaksanakan samapai pada saat dia bisa baru dai di suruh untuk membacanya.

3.    Guru yang Berkompeten
       Salah satu yang menjadikan program pendidikan di Musholla Asy-Syifa itu sampai seperti yang telah dijelaskan di atas tak lain karena gurunya yang berkompeten. Guru yang menjadi pengajar di Musholla Asy-Syifa merupakan lulusan  pesantren salaf, dan beliau belajar di pesantren tersebut hingga lulus dan sudah barang pasti  beliau sudah punya sanad yang muttashil. Sehingga beliau boleh mengajarkan ilmu yang didapat dari pesantren untun anak-anak yang ada di lingkungan masyarakatanya.
        Peran guru dalam mendidik muridnya itu sangat penting. Banyak guru-guru yang hanya menyandang titel guru tapi tidak sepenuhnya bertanggung jawab terhadap muridnya. Guru yang dibutuhkan oleh setiap murid itu pastinya guru yang berkompeten dan guru yang mampu bertanggung jawab penuh atas tugasnya sebagai guru. Dan di musholla Asy-Syifa ini sudah membuktikan bahwa gurunya itu berkompeten, karena mampu mencetak anak-anak yang bisa membaca Al-Qur’an dan bisa mempraktekan Ibadah melalui program pendidikannya.
        Program yang dibawanya bisa bertahan seperti itu juga karena keistiqomahan  yang sudah menempel di dalam hatinya. Dalam hali ini istiqomah sangat penting untuk seorang guru, apalagi yang notabenya sebagai guru ngaji. Begitu berat tanggung jawab seorang guru dan begitu luar biasa seorang guru yang mempunyai keistiqomahan. Loyalitas serta keikhlasan yang diberikan kepada muridnya. Sehingga Muhammad bin Ahmad Nabhan dalam kitab Alaa Laa Tanaalu Al-‘Ilma mengatakan bahwa seorang guru yang memberikan pemahamn satu huruf  itu berhak menerima satu dirham. Hal ini menunjukan begitu mulianya seorang guru. Maka dari itu mulai sekarang dan sampai kapanpun kita harus menghormati dan memuliakan guru sampai kapanpun.

4.    Lulusan yang Berkualitas
        Anak-anak yang belajar mengaji di Musholla Asy-Ayifa sampai selesai, mayoritas bisa menjadi anak yang sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orang tuanya. Karena mereka mampu membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar sesuai tajwid dan makhrojnya, mereka juga bisa hafal bacaan-bacaan tentang shalat, wudlu dan sekaligus mampu untuk mempraktekannya. Kemudian samapai sekarang alumni-alumni musholla Asy-Syifa selalu tampil di depan pada saat ada acara-acara hari besar islam, dan ketika ada warga yang punya hajat untuk mengadakan acara seperti Aqiqahan, tujuh bulanan dan lain sebagainya, ternyata alumni musholla Asy-Syifa lah yang berperan didalamnya. Hal ini menunjukan bahwa musholla Asy-Syifa mampu menumbuhkan alumni-alumni yang berkualitas dan berani tampil di masyarakat.

C.    Penutup
1. Simpulan
       Simpulannya yaitu bahwa musholla Asy-Syifa merupakan musholla yang mempunyai karakter berbeda dengan musholla-musholla lain yang ada di Pengarengan. Perbedaan tersebut terletak pada : Program pendidikan dan sistem pembelajaran/ pengajaran.
       Di Musholla Asy-Syifa juga mempunyai guru berkompeten dan loyalitas tinggi, serta musholla Asy-Syifa mampu mencetak alumni-alumni yang berkualitas.
2. Saran
       Harapannya kepada para pembaca untuk mencoba menerapkan program pendidikan seperti yang telah dijelaskan di atas.


DAFTAR PUSTAKA
Arief, Armai. 2004. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik. Bandung: Angkasa
Darmawan, Darmawan, Hendro. 2010. Kamus Ilmiyah Populer Lengkap. Yogyakarta: Bintang Cemerlang
Fadeli,Sulaeman, Mohammad Subhan. 2007. Antologi Sejarah Istilah Amaliah Uswah NU. Surabaya: Khalista
Maryati, Sri, 2007. Hidup Sehat Menurut Islam. Jakarta: PT Perca
Muhammad bin Ahmad Nabhan. Alaa Laa Tanalu Al-‘Ilmi, Surabaya
Syafi’i, Mas’ud. 1967. Pelajaran Tajwid. Bandung: Putra Jaya