MENGENALI DAN MEMPERBAIKI DIRI UNTUK MEMBANGUN NEGERI
Keberadaan Negara Indonesia tercinta tidak bisa dilepaskan dari
peran aktif pemuda, khususnya mahasiswa dan pelajar. Sejarah mencatat,
perlawanan-perlawanan yang terjadi di banyak daerah dilakukan oleh pemuda
dengan sokongan generasi tua. Sejarah juga mencatat bahwa kebangkitan nasional
di awal abad 20 menjelang kemerdekaan Negara ini bermula dari
organisasi-organisasi yang keberadaan dan gerakannya dimotori oleh kaum muda
terpelajar, sebut saja Soekarno muda, dr. wahidin muda, Wahab Chasbullah muda,
Wahid Hasyim muda (Ayah dari almarhum Gusdur), dan lain-lain.
Sumpah Pemuda yang dilaksanakan pada 28 Oktober 1928 yang merupakan
awal tumbuh kembangnya kesadaran persatuan Indonesia dilaksanakan dan dimotori
oleh generasi muda. Bahkan dalam sejarah perjalanan Negara ini juga pernah
berdiri Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) yang anggotanya dari kalangan
pelajar.
Pasca kemerdekaan dan berakhirnya perang fisik, tentu perjuangan
para pemuda (mahasiswa dan pelajar) belum selesai. Masih ada tugas dan
perjuangan untuk mengisi kemerdekaan, dan tentu saja buka perjuangan fisik
mengangkat senjata seperti masa pra kemerdekaan dan masa mempertahankan
kemerdekaan.
Pertanyaannya adalah, apakah jargon cinta tanah air dan mengisi
kemerdekaan masih relevan di era globalisasi seperti sekarang ini? Kalau iya
masih relevan, bagaimanakah caranya? Bagaimanakah memulainya? Apakah dengan
mengikuti program wajib militer dan bela Negara?
Cinta tanah air merupakan hal yang masih relevan meskipun di era
globalisasi ini, dunia seakan tiada batas. Cinta tanah air mengajari kita agar
sebagai manusia dan bangsa, kita tidak tercerabut dari akar, dan mempunyai jati
diri. Bahkan, Negara-negara yang dikatakan maju pun, warganya memiliki
kebanggaan dan kecintaan terhadap Bangsa dan Negaranya.
Warga Negara dari Negara yang dikatakan Negara maju mempunyai rasa
cinta tanah air yang tidak kecil. Artinya, globalisasi tidak mengurangi atau
menghilangkan cinta tanah air. Malahan, dengan memiliki cinta tanah air, kita
akan menunjukkan kekhasan kita sebagai warga Negara Indonesia, dan menjadi
manusia Indonesia yang tidak mudah diombang-ambing oleh ketidak pastian akibat
globalisasi.
Cinta tanah air bisa ditanamkan dan ditumbuhkan dengan berbagai
macam cara, program wajib militer dan bela Negara merupakan salah satu cara
yang tidak menafikan cara-cara lainnya. Bahkan Habib Muhammad Luthfi
menggunakan media peringatan maulid Nabi Muhammad Saw sebagai cara penanaman
cinta tanah air, yang mana wujud nyata aplikasi atas cinta tanah air ini adalah
disesuaikan dengan konteks dan kemampuan masing-masing. Semisal, dengan membeli
produk dalam Negeri, melakukan hal yang positif dalam bidang pendidikan, dan
sosial budaya, dan lain-lain.
Akan Tetapi, kecintaan terhadap tanah air dengan berbagai macam
aplikasi nyatanya jangan sampai menafikan pentingnya mengenali diri dan
memperbaiki diri. Tentu saja dua hal tersebut harus berjalan bersama. Karena
jika menunggu diri sendiri baik dan sempurna baru melaksanakan hal-hal yang
bermanfaat, maka sampai mati pun kita hanya akan berdiam diri.
Memperbaiki diri sendiri tentu berawal dari mengenali diri sendiri.
Ibarat seorang dokter tidak akan member resep obat pada pasiennya sebelum
mengnali penyakit yang diderita pasien. Tetapi pertanyaannya adalah, bagaimana
cara kita bisa mengenali diri kita sendiri?
Tentu banyak cara untuk mengenali diri, dan diantara caranya ialah
terus berproses dan belajar, serta yang tak kalah penting ialah berkontemplasi
untuk merenungi keadaan diri sendiri agar sadar siapa dirinya dan untuk apa
dirinya hidup. Sehingga kesadaran yang lahir dari laku kontemplasi itu
melahirkan lelaku yang manusiawi, yaitu lelaku yang sesuai dengan tugas manusia
sebagai hamba Tuhan dan khalifah Tuhan di Bumi.
Selain itu, sebagaimana walisanga dahulu yang sudah tuntas dengan
dirinya dan sadar sebagai hamba Tuhan dan khalifah Tuhan, walisanga pun ketika
berjuang tidak melupakan sisi penting dalam perjuangan, yaitu sisi ekonomi.
Patut dicatat, bahwa ketika berjuang para walisanga dan penerus beliau tidak
sekedar menggelar pengajian, tetapi juga bertani dan berdagang untuk memperkuat
ekonomi beliau-beliau, sehingga beliau-beliau dalam berjuang tidak mengandalkan
dan mengharapkan pemberian orang lain. Kemandirian dan kekuatan ekonomi
benar-benar walisanga bangun dan kuatkan.
Hal tersebut tentu masih relevan untuk kita contoh di masa kini,
yaitu kita dalam berjuang untuk kemanfaatan dan kemaslahatan bagi masyarakat
dan Negara Indonesia tidak mengharapkan dan mengandalkan pemberian orang lain
atau proposal, tetapi ekonomi kita kuat dan mandiri, malah kita yang memberi
orang lain yang membutuhkan, dan dalam berjuang pun kita tidak selalu terbentur
masalah pendanaan.